15 July 2007

KALAH DENGAN KEPALA TEGAK

“Kalah Dengan Kepala Tegak” menjadi judul dari sebuah kolom berita di salah satu harian nasional yang saya baca tadi pagi. Semangat sportivitas yang terjunjung dari penggalan judul berita mengenai kekalahan timnas Indonesia melawan Arab Saudi itu membangkitkan rasa bangga saya, yang sudah mulai muncul sejak tim kita bermain sportif dan bisa menang melawan Bahrain.

Saya bukan pecinta sepakbola. Nonton pertandingan bola aja paling-paling saat final Piala Dunia. Dulu memang terkadang nongkrong di depan teve, tapi menyaksikan adu jotos yang kerap berlangsung di persepak bolaan nasional (yang tidak kalah lucu dengan Srimulat ...), bukan untuk menikmati unjuk kepiawaian dari para pemain di lapangan hijau itu menggiring bola.
Tapi sejak persiapan sampai hari ini, apa yang telah diperjuangkan timnas kita yang turun di Piala Asia telah menyeret saya untuk berdebar menantikan akhir sebuah pertandingan yang diikuti oleh timnas kita di sana. Dada saya berdesir senang ketika kita menang, dan miris ketika kita kalah. Tapi di luar sentimentil yang mulai saya miliki atas persepak bolaan Indonesia, saya bangga kita bisa bangkit sebagai atlit yang bisa (juga) tampil sportif.

Rasanya pemikiran yang sinis dan pesimis terhadap dunia persepak bolaan nasional, yang dulu sempat nangkring dengan mantap di benak, sekarang sudah mulai tergusur.
Saya memang masih tetap bukan pencinta sepakbola; sebab ketika saya mulai berbangga dengan timnas kita, sesungguhnya saya sedang berbangga terhadap bangsa saya; jadi itu lebih pada kecintaan seorang yang punya semangat nasionalis ketimbang perubahan minat pada dunia sepakbola.
Ayo maju, timnas Indonesia! Kalau pun kalah, ukirkan sekali lagi di tajuk berita nasional bahwa kita memang kalah tapi dengan kepala tegak!
Ijinkan aku—dan juga semua rakyat Indonesia yang membanggakan kalian—melihat semangat sportivitas dari kalian! Sebab juara bukan segalanya dalam olah raga, tapi sportivitas yang sudah mulai kalian tunjukkan.

Labels:

DEDEN & SPIRITUALITAS

Rekan saya, Deden (bukan nama sebenarnya), rupanya sedang tergila-gila dengan bacaan-bacaan yang berkenaan dengan topik spiritualitas. Karena dia seorang Kristen, dan rupanya tidak punya tendensi ke arah pluralis ataupun universalis (entah kalo ternyata sinkretis-terselubung, :) ...), maka tentu saja spiritualitas yang digila-gilainya adalah yang berkenaan dengan iman Kristen.

Selain suka menenteng-nenteng buku tentang spiritualitas (bahkan mo ibadah Minggu aja nenteng kayak begitu; untung masih ingat bawa Alkitab), Deden juga sudah beberapa kali mondar-mandir tanya tentang buku-buku apa aja yang bisa memenuhi ketergila-gilaannya itu.
Ketergila-gilaan rekan Deden tersebut mulanya membuat saya bersuka hati. Gimana nggak gembira, anak muda begitu sudah punya ketertarikan dengan hal spiritualitas. Yah, lepas dari praduga pencarian jati diri karena faktor rentang usia remaja yang masih ia jalani, paling tidak ia memiliki kehausan akan hal yang benar.

Namun belakangan, saya mulai merasa takut.
Sebab Deden tampaknya sangat tertarik dengan spiritualitas, tapi saya jarang melihatnya menekuni buku utama yang merupakan mata air dari topik yang digila-gilainya itu, yang saya suka istilahkan: ultimate source of spirituality; the Book of book.
Ibarat menu seimbang, ketertarikan untuk melahap susu itu baik; tapi tidak pernah bisa lepas dan melulu begitu tanpa juga menyantap menu empat sehat lainnya. Cari yang sempurna, macam ‘lima sempurna’ itu baik; tapi bukan berarti mengabaikan yang ‘empat sehat’.

Ah, ketergila-gilaannya rekan saya itu menjadi sebuah warning yang kuat bagi saya pribadi. Betapa saya bisa terjebak untuk ‘gila’ pada hal-hal yang sebenarnya baik, tapi bukan yang utama, apalagi yang segala-galanya.
Saya takut menjadi terlalu bersemangat belajar teologi ini-itu, tapi lupa bahwa sejatinya teologi adalah jiwa yang dalam kerinduan dan pencariannya akan Allah, mencari langsung kepada Allah; bukan pada secondary sources. Mengagumi dan bisa melihatNya dalam ciptaan dan filsafat manusia, tapi tidak melupakan bahwa itu baru sebatas wahyu umum; dan wahyu yang sejati adalah yang langsung dan personal sifatnya, yang untuk membedakannya dari yang umum disebut wahyu khusus.
Khusus, karena diberikan pada yang dianugerahi untuk mengimaninya;
khusus karena itu diberikan dengan bentuk yang personal sifatnya, berkembang dalam relasi yang juga relasi yang juga bersifat personal (bukan teknis atau ritualistis).

Saya juga terjebak untuk melihat spiritualitas lepas dari esensinya: the Spirit (alias Allah sendiri). Saya mungkin sekali sudah terkungkung serbuan goresan pemikiran tokoh-tokoh (manusia) dan mengabaikan suara pribadi dari Sang Sumber itu sendiri.

Ah, Deden, kita sama-sama orang yang nyaris terjebak pada kepalsuan spiritualitas; yang bersembunyi dibalik pemikiran manusia, tapi mengesampingkan sabda Sang Sumber.

Labels:

TIDAK RATA SUPAYA LAJU

Di zaman yang maunya serba mulus dan instant ini, ternyata masih ada beberapa hal yang masih tetap dipertahankan untuk tidak mulus dan tampaknya juga tidak instant.
Bola golf misalnya. Tidak seperti kebanyakan bola yang lain, bola golf justru dibuat bopeng alias tidak rata. Lho? Yah, saya memang tidak pernah dan mungkin tidak akan pernah main golf, tapi mengetahui bahwa ada bola bopeng jelas sebuah informasi yang unik. Menarik sekali di Intisari edisi Juli 07 dijelaskan bahwa kebopengan bola golf ini belum ada pada awalnya. Jadi, mulanya bola golf dibuat sama seperti bola-bola lainnya, bulat polos alias rata.

Seiring perkembangan, justru bola golf rata yang sudah tidak rata karena sering digeplak dengan stik, melayang lebih jauh ketimbang bola yang masih rata.
Itulah awal penemuan dan perubahan bentuk sang bola: sekarang dibuat bopeng, alias tidak rata permukaannya.

Kualitas lebih yang dihasilkan dari bola yang sudah dibuat bopeng itu tentu saja punya konsekuensi. Bola golf yang bopeng punya hambatan awal yang untuk meluncur, sebab itu perlu tenaga lebih untuk melambungkannya. Tetapi setelah melambung, hambatan berkurang dan laju bola lebih jauh ketimbang bola yang mulus, yang melambungkannya lebih ringan tapi meluncurnya tidak jauh.

Ketidak rataan atau ketidak mulusan dalam banyak hal seringkali berfungsi seperti bopengnya sang bola golf: supaya hidup kita bisa lebih ‘meluncur’, lebih laju. Tidak seperti awal yang mulus, mudah dan tidak menuntut usaha yang lebih; yang hanya menghasilkan hidup yang begitu-begitu saja, yang lama-kelamaan membentuk karakter lamban dan malas dalam diri kita, mentalitas ‘kalo ada yang mudah, ngapain cari yang susah’.

Itu rupanya yang membuat Jepang yang sudah mulai luluh lantak lantaran gempuran bom atom sampai kekalahan perang yang harus diterima meski sangat pahit, bisa bangkit menjadi negara yang diperhitungkan sekali dalam kancah Internasional (tidak seperti Indonesia, negeri yang subur, yang punya modal alam besar sekali, wilayah yang luas, penduduk yang banyak, tapi sumber daya manusia berkualitas yang sangat minim).
Itu rupanya yang membuat Singapura, negara yang tidak lebih besar luasnya dari sebuah kabupaten kecil di Sumatra atau Kalimantan, bisa terkenal dengan segala potensi yang meski minim sekali, tapi dioptimalkan pemberdayaannya (yang sebenarnya Indonesia miliki berlimpah-limpah, tapi tidak dikelola dengan baik, selain dieksploitasi dan dikorup untuk kepentingan sendiri).
Itu rupanya yang membuat nilai rekan saya, yang harus bersimbah keringat dan meneteskan air mata (asli, bukan akting sinetron) untuk bisa dapat nilai lolos (alias gak perlu fail sehingga harus ngulang), malah dapat nilai lumayan (gak kayak saya, meski dikaruniai otak lebih encer dikit ketimbang rekan saya itu, tapi dapat nilainya ya nggak jauh beda; padahal kalo mo lebih bersimbah keringat dan sudi meneteskan air mata dalam berusaha, mungkin bisa dapat nilai jauh lebih baik).

Mau yang lancar dan gampang, boleh aja, dengan konsekuensi hasilnya yah itu: kualitas gampangan. Mau bekerja keras dan berusaha meski tidak mudah, memang awalnya gak enak dan susah, tapi hasilnya, waw: kualitas yang optimal.
Sebab memang perlu yang ‘tidak rata’ kalo mau ‘lebih laju’!

Labels:

11 July 2007

Pengemis tak bernama: Aku Gak Minta Itu!!!

di hamparan tanah berpasir,di tepi jalan berdebu,
setahun sekali,
dengan tertatih aku mencari posisi strategis
di pinggir jalan menuju Yerusalem

pada jalan yang menanjak itu aku menaruh badanku
tapi kali ini ada mengulurkan tangan untuk menerima sedekah,
tidak ada seruan memelas untuk mengetuk sedikit belas kasihan;
sebab aku punya keinginan lain ...
karena seorang terkenal akan lewat kali ini
(semoga ia melintas di depanku!)

hari sudah mulai panas,
dan rekan-rekanku sesama pengemis mulai menganggap aku gila;
sebab hanya sesekali aku berseru memelas,
dan tidak kelihatan antusiasme dan semangat kerjaku kali ini ...

ya, hari ini mungkin saja akan mengubah hidupku untuk selamanya,
sebab orang terkenal itu mampu menciptakan keajaiban macam itu bagiku;
ayo, datanglah hai rabi Galilea ... aku sudah menunggu saat ini
seumur hidupku

"Bagaimana kau bisa mengenali Dia, hai buta?"
tentu saja bukan dengan mengamati tampangNya di antara kerumunan peziarah, tolol!
tapi dengan menyendengkan telinga, mencoba menemukan keteduhan yang kokoh,
getar jiwa yang penuh rasa belas kasihan,
yang akan sangat mudah ditemukan
di antara segerombol jiwa tanpa hati; di antara kaum religius yang kebanyakan tanpa kemurahan

"Hei, itu Dia ... itu Dia bakal lewat sini ..."
jelas ini bukan gosip ala tabloid,
atau provokasi dari kalangan yang tak bertanggung jawab;
ini berita!
berita, yang bagiku terpenting selama hidupku.

nah, nah ... getar itu mulai kurasakan dengan mata hatiku;
benar, Dia bakal lewat sini!
dan aku mulai berteriak kepadaNya:
"Anak Daud, kasihanilah aku!
Mesias, kasihanilah aku!"
(sambil tersenyum kecil dalam hati:
he he he ... taurat yang penuh bercerita tentang datangnya Dia,
yang tak dimengerti sama sekali oleh agamawan yang buta-tuli tapi sok melek itu,
sekarang diserukan kegenapannya oleh peminta-minta buta macam aku ini!

Labels:

SEKALI INI AJA, SAYANG ...

(Lirik Lagu Pop:)
Teman Tapi Mesra ...
(Nah, sekarang cuplikan refrain lagu baru
dari sebuah grup band baru [juga] bernama SHE:)
"... Izinkan aku sekali saja, rasakan cinta yang lain.
Sekali saja kuingin memeluknya, dan cium bibirnya ..."


Saya pernah mendapat ajuan pertanyaan: “Seandainya harus memilih, berpoligami (punya istri muda dengan jalur resmi [?]) atau sekedar selingkuh resmi ala TTM tapi keluarga tetap utuh?”
Saya lantas menjawab dengan ketus, “Jelas nggak dua-duanya!”

Lalu sang penanya gak menyerah, dengan membatasi pilihan ia kembali maju, “Seandainya kamu cuma punya dua pilihan itu saja, tidak ada pilihan yang lain, yang mana yang akan kamu pilih?”
“Itu kan seandainya, dan bodohlah orang yang terpancing untuk memutuskan hal-hal seandainya, padahal itu menyangkut nilai moral yang semestinya dipegang. Gue tetap ga pilih dua-duanya. Gini aja, gue kasih tahu prinsip gue dah sama elo: dalam berelasi khusus (mo pacaran, mo married), gue cuma akan setia pada satu orang! Titik. Gak pake koma, apalagi titik koma!”

Anda terkesan dengan pendirian saya? Wait a minute! Tunggu dulu!
Itu kan yang keluar dari bibir saya ... Tapi jauh dalam hati saya, jujur saya masih mungkin tergoda untuk tertarik pada wanita lain selain kekasih saya. Saya masih sangat mungkin menilai wanita lain lebih cantik dari kekasih saya, lebih menarik, lebih menggairahkan.
Dan lagi: bukan cuma saya sendiri yang bisa tergoda dan punya mungkin dan sangat mungkin seperti itu. Kekasih saya juga bisa. Lha, sama-sama manusia kok. Sama-sama bisa tertarik dengan orang lain, sama-sama bisa mengakui bahwa orang lain lebih menarik dan menggairahkan dibanding saya. Lha, sama-sama makan nasi kok. Tapi biarpun saya makan nasi dan kekasih saya itu makan roti, tetap aja dia dan saya manusia.

Jadi, picik banget kalo Anda mengagumi kesetiaan saya;
Sebab sejujurnya alasan dibalik prinsip itu, ya kesadaran saya bahwa pasangan saya pun bisa berlaku sama dengan saya.
Cuma bedanya, apa yang kemudian menjadi prinsip yang saya atau kekasih saya pegang:
mo belajar setia atau ‘setia’ tapi dengan selingan (yang jelas-jelas bukan setia).
Belajar (nah ini kata yang penting) berarti saya akan mungkin sekali jatuh bangun dalam mengupayakannya; akan mungkin sekali gagal. Hanya saja, selama saya masih dalam upaya belajar, jatuhnya saya itu langsung direspon dengan bangkit kembali; gagalnya saya itu langsung dijadikan pelajaran berharga untuk lebih berhasil lagi.

Tetapi meski begitu, dalam belajar setia, tidak mungkin sampai pada ‘cari selingan’ dengan yang lain, tidak sampai ada WIL atau PIL. Kalo sudah sampai pada hal itu, berarti saya bukan sedang belajar, tapi sedang gagal untuk setia.

Apa Anda masih mau mencintai kekasih yang meski datang dengan umbaran kata-kata cinta dan rayuan maut, lalu meminta begini: “Sayang, ijinkan aku selingkuh (mungkin ga pake kata ini, dan menggantinya dengan kata-kata lain yang bila dengan seksama diamati punya kualitas yang tidak beda jauh dengan kata ini) sama Anu sekali aja. Kan cuma sekali, seterusnya sama kamu doang seorang... please, ya Sayang?”
Saya pribadi sih gak bisa. Entah kalo Anda, atau pasangan lain yang tahu kekasihnya menikmati selingan di luar hubungan mereka.

Sebab saya memang cukup tegas dalam kebijakan mengenai makna setia.
Persis tulisan yang dipajang di toko atau swalayan: ‘membuka segel berarti membeli’.
= selingkuh, meski cuma sekali, berarti tidak setia. Sebab apapun bentuknya, apapun istilahnya, apapun bungkusnya, selama isinya setara mutunya dengan perselingkuhan, ya tetap aja berselingkuh.

nota bene: gue khan bisa ngomong gitu karena belum punya kekasih aja. Coba kalo udah punya, apa iya bisa seperti yang gue tulis? Please, pray for me to do like what I’ve write, and give caution if I do it.

Labels:

PARADOKS MORALITAS ALA INDONESIA (2)

Sekali lagi, Indonesia adalah negeri yang sangat fenomenal dalam hal moralitas, dalam artian: ada gejala paradoks secara moral.
Karena berbicara mengenai paradoksal moralitas di Indonesia merupakan pembicaraan tentang topik yang cukup luas, banyak segi yang bisa disorot, maka saya akan batasi sekali pada gerakan (atas nama) agama, yang telah saya ungkit-ungkit di bagian pertama dari rangkaian tulisan ini. Sebab itu merupakan salah satu rangkaian paradoksal moralitas atas nama agama yang paling mengganggu hati nurani saya, dan orang-orang yang seiman dengan kelompok tersebut, namun memahami agama dengan benar.

Nah, sekarang saya lanjutkan ...
Pertimbangan yang akan saya ajukan pada mereka (‘mereka’ disini tentu sudah Anda mengerti ya ...):

Bapak-bapak yang terhormat,
Pada kesempatan ini ijinkan saya yang masih belia dan belum berpengalaman ini mengajukan semacam sumbang-saran pada kegiatan yang Bapak-bapak selama ini lakukan dengan giat. Sebab meski saya masih ‘bau kencur’, tapi paling tidak kalau Bapak-bapak sudi melakukan apa yang saya usulkan ini, mungkin sekali orang-orang sebau kencur seperti saya ini akan hormat dan kagum terhadap Bapak-bapak.

Begini, bagaimana kalo Bapak2 mengubah strategi pemberantasan maksiat itu dengan gerakan moral macam pembenahan diri terlebih dahulu? Maksud saya, coba Bapak2 membentuk keluarga yang saleh, menjadi teladan dalam tutur kata, sikap dan tindakan; bukan teladan dalam kegalakan anarkisme yang selama ini dilakukan, tapi maksud saya adalah teladan dalam menunjukkan keutamaan moral seorang yang menyembah Allah: punya cinta dan membawa damai. Dan jangan salah kaprah berpikir bahwa damai bisa dibawa dengan ‘jalan pedang’ macam penggerebekan atau menyeret beramai-ramai orang yang dituduh oleh Bapak2 dengan dalih apa pun (selain korupsi yang terang-terangan dan sudah terbukti, boleh juga deh Bapak2 tindak dengan anarkis [kalo berani, Pak, kalo berani! Jangan cuma sama orang kecil yang nggak berduit, yang nggak bisa melawan Bapak2! ]).

Coba Bapak2 menyerukan asma Allah dalam jalan damai.
Dalam uluran yang tulus pada yang miskin, tangan yang membantu pada yang lemah, sikap yang ramah pada yang minoritas.
Bukan mengobarkan kebencian dan bersikap anti-SARA; bukan bermental pencari kambing hitam atas berbagai masalah sosial;
Supaya kekudusan asma Allah yang Bapak2 serukan tidak tercemar,
supaya Ia tidak menjadi murka oleh betapa sewenang-wenangnya Bapak2 menyebut nama-Nya dalam tindakan-tindakan yang sama sekali tidak mencerminkan apa yang Ia firmankan.

Sebab kemaha besaran-Nya, Bapak2, adalah sifat yang menunjukkan perlindungan dan kemuliaan, bukan kegeraman dan ayunan benda-benda perusak pada tubuh sesama.
Sebab kemaha besaran-Nya seharusnya dikumandangkan bukan dengan teriakan komando untuk membakar, membunuh dan menjarah, melainkan dikumandangkan dalam tutur kata yang santun, dengan hati yang penuh cinta, dan diri yang sungguh-sungguh bertakwa dalam pemahaman agama yang benar—yang seharusnya digali dari kitab suci, bukan cuma dari apa kata orang, yang belum tentu benar, meski mungkin tidak sepenuhnya keliru.
Sehingga, Bapak2, bila dengan sikap yang saya usulkan itu Anda semua mendatangi cafe-cafe liar, lokalisasi, panti-panti pijat mesum, penoda agama Anda, maka Bapak2 sedang berjihad dengan jalan yang mengutamakan Dia, bukan kekuatan dan keberingasan Bapak2.

Mungkin sekali reaksi pertama adalah cemoohan dan tidak dianggap, karena Bapak2 datang dengan santun, tidak bergerombolan apalagi bawa2 pentungan dan golok; tapi, Bapak2, apa yang ada jauh mereka dalam hati Allah sendiri yang akan bekerja.
Bukankah Dia Mahabesar? Bukankah Dia mahakuasa?
Sebab Bapak2 yang (Cuma) ciptaan-Nya punya bagian sendiri, yang sedapat mungkin jangan mengambil alih bagian-Nya.
Sebab, Bapak2, kekuatan Allah bukan dalam kekerasan, tapi dalam cinta.
Bapak2 bisa paksa mereka untuk bertaubat, memasukkan sebanyak mungkin pelaku maksiat dalam program taubat tujuh hari mungkin; tapi pertaubatan sejati tidak pernah bisa dipaksakan oleh manusia ... itu hanya bisa dikerjakan atas rahmat dan hidayah Allah semata ... tugas kita, sepanjang pengetahuan saya yang terbatas mengenai ajaran agama Bapak2, adalah menjadi pelaku dan bersikap takwa terhadap apa yang diajarkan dalam firman-Nya.

Sehingga surga yang dirindukan, Bapak2, bukan lagi semata kenikmatan bidadari yang terus-menerus perawan (saya agak heran: kok malaikat2 yang terus perjaka nggak disebut2 ya dalam pemahaman surga macam gini?), tapi boleh masuk dalam kemuliaan dan disambut dalam kekekalan yang indah bersama Allah.
Dan, jangan sampai bukan surga yang Bapak2 masuki, tapi neraka jahanam; sebab Bapak2 mengira telah melakukan yang benar—atas dasar pemikiran Bapak2 sendiri, bukan Allah, tetapi kelak ternyata sebaliknya: sedang menentang hukum Allah yang seharusnya dilakukan.

Bukan surga dengan kenikmatan abadi yang Bapak2 dapatkan, malah nyala abadi api neraka dan gaplokan malaikat-malaikat Allah yang sudah gemas melihat Bapak2 terus-menerus menghujat kebesaran asma Allah dalam tindakan anarkis yang mungkin munafik itu ...
Mahabesar Allah, yang kebesaran nama-Nya tak membutuhkan pembelaan kotor tangan manusia!

Labels:

PARADOKSAL MORALITAS ALA INDONESIA (1)

Indonesia memang negeri yang penuh kontradiksi.
Fenomena kontradiksi yang paling sering muncul justru dalam ranah moralitas.
Sementara ada kelompok yang mengatas namakan agama untuk bergerak secara 'tegas' (sejujurnya, lebih tepat disebut: anarkis) untuk 'membasmi' maksiat alias perzinahan. Yang dilakukan: menggerebek tempat-tempat yang dianggap maksiat, memaksakan pemberlakuan syariat agama, menghukum orang yang dianggap atau dituduh telah menghina agama mereka.
Sejak awal, sebelum semuanya itu dilakukan secara intensif, saya pribadi sudah pesimis mengenai efektivitas tindakan-tindakan tersebut.
Sejak SMU saya sudah tertarik melihat gerakan kelompok-kelompok macam itu; yang pada zaman Suharto lebih banyak bungkam, tinggal tenang dalam 'kandang' masing-masing. Sekarang, setelah punya peluang dan kesempatan untuk menggerakkan massa, tiba-tiba jadi macan tumbuh taring. Suharto dan OrBanya adalah kambing hitam yang empuk dan nikmat untuk dihujat dan dipersalahkan, serta dijadikan alasan atas tindakan ekstrim macam aksi pembakaran dan penjarahan sampai terorisme.

Dulu, saya mengira dogma agamanyalah yang membenarkan tindakan-tindakan macam itu. Tapi setelah saya belajar sedikit tentang apa yang tertulis dalam kitab suci mereka, saya menarik asumsi baru: ajaran agama mereka sebenarnya tidak membenarkan apa yang mereka lakukan.
Saya menarik nafas lega ketika mendapatkan asumsi ini.
Sebab saya termasuk orang yang cukup universalis dalam hal agama-agama besar dunia, artinya: saya meyakini ada nilai-nilai moral, cinta dan perdamaian yang kental dalam setiap ajaran agama-agama besar dunia yang ada.
Implikasinya (yang semestinya berlaku): penganut-penganut yang belajar menghidupi nilai-nilai luhur dari moralitas, kecintaan dan perdamaian yang merupakan keutamaan jiwa dari agama yang dianutnya.

Tidak seperti sekelompok orang yang cenderung anarkis, tapi terus saja merasa diri benar. Saya ngeri membayangkan 'Allah' seperti apa yang mereka 'bela'.
Sebab bila Dia adalah 'true God', maka jelas dalam kemahakuasaan-Nya, Ia tidak senang ada makhluk ciptaan macam manusia yang 'berani-berani'nya memakai nama-Nya untuk melakukan tindakan yang tidak beda dengan preman. Apa pun alasannya. Apa pun motifnya. Dan tentu saja bukan atas motif keagamaan yang sejati.
Sebab keagamaan yang sejati itu akan menampakkan pribadi-pribadi yang santun, ramah, pembawa damai; bukan tampang-tampang beringas yang berteriak-teriak atas nama agama, padahal sesungguhnya yang terjadi adalah pelampiasan emosi dan kemarahan diri sendiri semata.

Saya mengagumi seorang kyai yang menurut saya sudah belajar baik-baik mengenai agamanya, yang berujar, "Berjihad sesungguhnya adalah berperang melawan hawa nafsu diri sendiri ..." (note: beliau bukan Aa Gym, yang mengawali ministry ala Manajemen Qolbunya dengan memperkenalkan ajaran Islam yang kental semangat true religiousity, namun belakangan sayangnya menerapkan poligami, meski tidak dilarang sepenuhnya dalam ajaran agamanya).
Duh, itu pernyataan yang jelas-jelas mencerminkan apa yang memang tertera dalam kitab sucinya. Bukan jalan pedang, yang membuat kita yang hidup di zaman modern ini kembali ke jaman Jahiliyah, ke peradaban yang masih liar. Atau kalo masih juga ingin 'liar', mbok ya jangan meniru peradaban tempo doeloe macam Jahiliyah gitu. Kreatif dikitlah ... yang bernuansa modern, yang kontekstual untuk jaman ini.

Kembali ke kontradiksi yang terjadi di Indonesia, saya pribadi melihat justru semakin 'ganas' kelompok-kelompok yang mengatas namakan agama untuk 'memberantas' apa yang mereka tuding sebagai maksiat, justru yang terjadi adalah berkembangnya sang maksiat.
Tadinya saya ingin berteman dan bertanya pada dua-tiga orang dari kelompok religius macam itu, "Apakah Bapak-bapak ini sudah bebas sepenuhnya dari apa yang Bapak-bapak tuduhkan?" (Jelas saya nggak berani, wong galak-galak begitu, wong mereka kebanyakan orang-orang yang tidak bisa diajak bicara baik-baik, yang rasanya kok lebih emosional dan mencintai jalur kekerasan, jalan pedang, ketimbang dengan kepala dingin dan hati bening mau diajak bicara baik-baik).
Tapi maksiat yang saya lebih takutkan bukan cafe-cafe, bukan lokalisasi, bukan tempat-tempat perjudian, bukan goyangan penggoda birahi.
Maksiat yang lebih menakutkan justru dosa yang terus dipendam dalam diri sendiri, yang ditolerir dalam mentalitas permisif terhadap diri sendiri, tapi sangat tegas dan anarkis pada orang lain.

Kira-kira, kalo saya dapat kesempatan untuk berbincang-bincang dengan kelompok religius yang giat 'membela agama' ini melalui aksi-aksinya (yang cenderung anarkis), tentu saja dengan pengawalan yang ketat dan ketetapan hati untuk mati konyol, maka saya akan mengusulkan beberapa hal, yang bukan melulu berasal dari hasil pengamatan dan pandangan saya, tapi juga dari pemikiran-pemikiran tokoh-tokoh yang benar-benar baik dan beriman dengan hati dan akal budi, bukan dengan emosi belaka.(bersambung)

Labels:

10 July 2007

MATI TERKEJUT ALA INDONESIA

Meskipun saya mengalami beberapa penghinaan karena saya keturunan Tionghoa, tapi semangat nasionalisme saya tidak pernah luntur. Saya mencintai negeri di mana saya lahir, dibesarkan dan (semoga Tuhan mengizinkan) kelak dikuburkan. Saya kerap merasa sangat sedih kalau melihat negeri yang dikaruniai Pencipta dengan sumber daya alam yang luar biasa kayanya ini sudah begitu parah diperkosa, dieksploitasi habis-habisan. Sama sedihnya kalau mendengar bahwa orang-orang dengan etnis semacam saya selalu dijadikan kambing hitam untuk dituduh atas miskinnya negeri ini.

Padahal, kalau toh kebanyakan warga yang keturunan Tionghoa di negeri ini mencari nafkah dengan berdagang atau buka usaha (yang memang sebagian menjadi sukses sekali), itu bukan semata hasil korupsi atau manipulasi sebagaimana yang dipraktekkan sebagian dari para penghujat yang anti-etnis itu.

Saya pernah berpikir, kenapa sih perantau dari daratan Tiongkok yang datang ke negeri ini dahulu kala tidak petani semua saja? Apa mungkin karena begitu canggihnya para peramal di sono sehingga menyarankan agar para petani di Tiongkok jangan merantau ke Indonesia, sebab nasibnya tidak akan berubah; malah lebih susah, sebagaimana yang dialami sebagian besar petani di negeri tercinta ini sekarang.

(Lalu saya sadar, bahwa petani tidak memiliki jiwa rantau, sebagaimana yang mengalir dalam darah pedagang; so, itu yang menyebabkan hampir seluruh perantau—khususnya dari daratan Tiongkok—punya kecenderungan untuk mencari nafkah dengan berdagang, bukan bertani).

Kembali ke hal nasionalisme dan korupsi/manipulasi di negeri ini, saya pernah berkeinginan untuk mati demi negeri ini.
Begini kisahnya: konon saya yang gampang kagetan ini, ternyata punya kecenderungan mengidap sakit jantung (apalagi dipicu dengan hobi menghirup kopi dan jajan gorengan, terutama pisang goreng). Begitu saya menyadari hal ini, diam-diam saya mengumamkan sepelintir doa, “Tuhan, kalo toh pada akhirnya Dikau menghendaki saya meninggal karena serangan jantung; ijinkanlah saya meninggal karena begitu terkejut atas berita nasional bahwa Indonesia, negeri yang marak korupsi, manipulasi dan perpecahan ini, telah menjadi negeri yang sepenuhnya bebas korupsi, bersih manipulasi, dan penuh damai …”
(Jadi bukan mati perang atas nama agama—yang seharusnya membawa damai dan pengampunan [kalo mati berperang agar negeri ini tidak dijajah bangsa lain sih oke], atau karena kolesterol tinggi akibat terlalu banyak makan enak, hidup mewah dari hasil korupsi atau manipulasi harta bangsa).

Dan saya bukan satu-satunya etnis keturunan Tionghoa yang punya rasa cinta yang besar terhadap negeri tercinta ini. Saya bukan satu-satunya orang yang selalu diteriaki dengan nada menghina, “Cina! Cina!” namun tidak pernah kehilangan semangat untuk bisa membangun negeri ini sesuai daya saya. Sebab saya kenal cukup banyak Aseng, Aliong, Mei Ling dst., yang bangga dan penuh hasrat untuk berdedikasi bagi negeri ini, menepuk dadanya dan berujar, “Saya orang Indonesia!”

Labels:

BEBAL ATAU HANYA BODOH?

“Kita harus menuntaskan kebodohan yang meraja lela di Indonesia” adalah slogan yang dulu pernah dikumandangkan, khususnya pada waktu program wajib belajar dan pemberantasan buta huruf mulai diupayakan.
Sekarang, tingkat kebodohan (dalam artian buta huruf) sudah semakin rendah; dengan kata lain: Indonesia sudah hampir bebas buta huruf.

Tapi, meski kita sudah hampir bebas buta huruf, kita malah jatuh pada hal lain: kebebalan. Bangsa ini memang mulai punya banyak ‘orang pintar’ (dalam arti berpendidikan tinggi, bukan paranormal atau dukun), tapi juga sekaligus punya banyak orang bebal.

Apa bedanya orang bodoh dengan orang bebal?
(Akhirnya kuliah Kitab Puisi PL bermanfaat di sini, he he he …)
Orang bodoh adalah orang yang tidak (tepatnya: belum) tahu, namun kalau ia dikasih tahu sehingga menjadi tahu, ia tidak lagi bodoh.
Berbeda dengan orang bebal. Orang bebal adalah orang yang sok tahu, sebenarnya tidak tahu, tapi tidak pernah mau dikasih tahu, tahu-tahu terbukti tidak tahu apa-apa.
Itu baru pengertian dalam tahap yang mendasar sekali.

Ada pengertian yang lebih dalam dari ‘bodoh’ dan ‘bebal’:
Kebodohan lebih menyangkut pengetahuan; tapi kebebalan jauh lebih dalam, karena menyangkut mental dan hati nurani.
Orang, meski mungkin bodoh, tapi biasanya jujur dan tulus. Berbeda sekali dengan orang bebal, yang menjadikan kebohongan sebagai kebiasaan sehari-hari, dan kemunafikan sebagai sikap yang dihidupi dengan darah-daging.

Anda sudah mengerti pelajaran ini, belum? (Ceilee … gaya dosen neh!)
Baiklah, sekarang kita melihat contoh soal untuk mengukur tingkat pemahaman Anda, sebab Anda mungkin bodoh (seperti saya juga; dengan penekanan pada kata ‘mungkin’ lho), tapi (semoga Tuhan menolong Anda dan saya) tentu saja tidak bebal (sebab Anda masih mau membaca tulisan saya yang suka ngelindur ini … dan saya masih sudi belajar dari hal-hal yang ada).

Menurut Anda, orang-orang di bawah ini termasuk kategori yang mana, Bodoh atau Bebal:

a. Orang yang memperalat (atau mengatas namakan) agama untuk kepentingan sendiri.
b. Beberapa wakil rakyat yang sibuk demonstrasi menuntut tunjangan lebih, sementara tugas dan kewajiban yang menjadi tanggung jawab mereka itu diabaikan.
c. Orang yang menuding kesalahan orang lain dan mencaci perbuatan orang lain, padahal dirinya sendiri sama buruknya dengan orang yang dituding atau dicaci itu.

Supaya kita sama-sama terhindar dari kebodohan—apalagi kebebalan, mari kita mencari sebanyak mungkin contoh kasus yang riil dari kehidupan sehari-hari, sambil terus introspeksi diri sejauh mana tingkat kebodohan dan kebebalan kita sendiri.

Last note: maaf kalo ternyata Anda menjumpai contoh soal itu adalah ‘bebal’ semua, sebab untuk kasus-kasus bodoh memang ada, tapi selalu tidak up to date dalam kurun waktu lama. Hal ini disebabkan orang bodoh cepat punah kalau diberi pengetahuan.

Labels:

09 July 2007

CUEK IS THE BEST (?)

Seorang teman saya suka mengenakan kaus yang di belakangnya tercetak slogan: “cuek is the best”. Saya tidak tahu pasti apakah itu mewakili falsafah hidupnya, karena seringnya teman saya itu mengenakannya, atau hanya sekedar tempelan yang ada di kaus miliknya itu.
Tapi yang pasti, saya pernah menjalani hidup dengan falsafah yang semacam itu. Saya sempat berprinsip: selama itu tidak mengusik saya, masa bodoh. Mau orang jungkir balik, selama itu ga merugikan saya, silahkan, monggo, please.
Ternyata, tidak perlu kaum religius atau kelompok humanis yang mengingatkan bahwa itu adalah falsafah yang keliru. Oke lah sepintas tampaknya baik. Namun apa yang dalam istilah kerennya disebut individualis style itu, ternyata bukanlah sebuah falsafah hidup yang sesuai kodrat saya sebagai manusia.
Malah, seandainya saya seekor monyet pun, falsafah “cuek is the best” tidak berlaku. Hal ini karena para monyet, di balik egoisme mereka yang kental, ternyata memiliki sistem masyarakat permonyetan yang menolak ke-cuek-an, malah lebih mengusung kepedulian terhadap sesama (gak percaya? Silahkan cari sebuah penelitian dari psikolog aliran Behaviourisme mengenai sistem kepedulian para monyet dalam sebuah penelitian perilaku). Kalo pun sistem itu di mata Anda tidak terlihat, karena yang melulu tampak adalah sosok hewan yang egois, bukan berarti fakta adanya sistem tersebut tidak ada. Yah, manusia yang punya akal budi jauh lebih baik aja suka melanggar sistem, apalagi monyet yang akal budinya jauh di bawah manusia ...
Kesimpulannya, mari kita tinggalkan falsafah cuek is the best yang mungkin sadar atau tidak sudah kita anut dalam keseharian kita, dan belajar untuk lebih peduli. Masak Anda dan saya kalah sama monyet sih ...

Labels:

BACK TO ‘PRIMITIVE WAY’

Mungkin fenomena ungkapan yang populer di bibir Tukul Arwana yang spektakuler itu, “Kembali ke ... laptop!” bisa dikembangkan menjadi, “Kembali ke ... jadul (alias jaman dulu)!”
Saya seringkali heran, kenapa istilah ‘jadul’ selalu memiliki konotasi yang negatif? Ketika kita melihat sesuatu yang kita anggap kuno atau ketinggalan, kita pasti dengan gaya (sok) gaul berceloteh, “Uh, jadul!” Padahal ‘jadul’ punya sisi tersendiri yang penting. Salah satunya adalah: sejarah (Wah, bagi Anda yang sangat berhasrat untuk kabur dari pelajaran bertajuk ini, tentu Anda akan sangat tidak setuju sekali dengan saya ...). Itu rupanya yang membuat semboyan terkenal dari Bung Karno, presiden RI pertama, terlupakan: “jas merah”. Hayo, apa kepanjangan dari semboyan yang pernah dilontarkan proklamator kita itu?
Sejarah seringkali membuka wawasan kita tentang banyak hal, selain membuat orang yang menghargai dan mau belajar darinya bertambah bijaksana. Salah satu sejarah yang mengesankan saya baru-baru ini adalah sebuah masakan di daratan Tiongkok. Namanya masakan ayam “si gembel”. Resep masakan ‘si gembel’ yang riwayatnya diceritakan dalam Intisari edisi Juli 07 ini lahir dari kondisi kelaparan para gembel waktu itu. Di tengah penderitaan akibat perut yang meronta-ronta minta diisi, seekor ayam melenggang santai tanpa curiga di depan mereka. Sontak sang ayam ditangkap beramai-ramai untuk disantap. Tentunya, harus diolah alias dimasak dulu. Nah, ditengah ketiadaan alat maupun bumbu masak, para gembel itu harus putar otak memikirkan cara mengolah ayam temuan itu agar bisa terasa ‘maknyuss’.
Alhasil, dengan cara yang amat primitif, mereka mengolah ayam tadi dengan membelah perutnya serta mengeluarkan bagian yang tak bisa dimakan. Setelah membungkusnya dengan sehelai daun teratai dan melumurinya dengan lumpur dari pinggir danau, selama empat jam buntalan ayam berselimut lumpur itu mereka bakar dengan perapian sederhana. Hasilnya, wuiih, daging ayam matang dengan aroma dan cita rasa yang benar-benar maknyusssss!
Sejak saat itu, resep itu kemudian berkembang (wah, kalo waktu itu para gembel yang menemukan resep ayam yang primitif itu sudah ngerti franchise, bisa kaya tuh, menyaingi pemilik brand KFC).
Resep masakan ayam ala “si gembel” ini mengingatkan saya bahwa apa yang bisa kita nikmati sekarang adalah hasil dari apa yang kita anggap jadul. Kita cuma bisa tahu bahwa Bill Gates itu kaya, Edison itu jenius, Tukul Arwana itu ngetop; tapi kita tidak (mau) tahu apa yang terjadi sebelum mereka bisa seperti itu. Bill Gates dulunya seorang pemuda putus sekolah, Edison malah dicap bodoh, Tukul sempat dikeluarkan dari grup lawak tertentu karena dianggap tidak lucu. Riwayat mereka (mungkin) adalah hal yang jadul buat kita. Tapi apa yang jadul itu justru yang paling penting dan relevan buat kita, dibanding kekaguman kita pada tokoh-tokoh yang saya contohkan tersebut.
Hal lain mengenai primitif adalah olah raga. Kita sekarang cenderung mengenal olah raga praktis di fitnes-fitnes centre; yang notabene memiliki peralatan olah raga yang mahal. Tempatnya pun elit, full AC. Padahal, jalan kaki atau lari pagi di lintasan alam yang sebenarnya—bukan di treadmill yang tidak membawa kita kemana-mana selain lari di tempat—adalah olah raga yang jauh lebih baik, selain murah dan punya nilai nature touchableness yang tinggi. Jadul? Mungkin. Tapi jelas lebih baik. Kurang nyaman? Barangkali. Tapi jelas lebih ‘hidup’.
Contoh lain lagi mengenai primitif adalah, cara makan. Buat saya, makan pakai tangan langsung (dalam artian gak pake sendok-garpu), jauh lebih nikmat, khususnya untuk menyantap hidangan tertentu seperti masakan ikan bakar, bebek goreng, ayam penyet, pecel lele de el es be (duh, jadi laper nih ....). Saya tidak bisa melupakan masa-masa jaim saya berkenaan dengan makan pakai tangan langsung. Dulu, saya pernah datang ke resepsi yang diadakan di sebuah restoran, yang menu utamanya adalah masakan ayam. Dengan antusias, saya mengisi piring dengan nasi dan seonggok dada ayam yang menggiurkan. Setelah memperoleh kedudukan, saya siap kekenyangan dengan isi piring saya itu.
Hanya perlu beberapa menit untuk kehilangan antusiasme dan nafsu makan, karena ternyata sulit sekali mengganyang ayam itu dengan paduan sendok dan garpu. Mau pake tangan langsung, malu, ntar dikira kampungan lagi, primitif. Saya sempatkan toleh kanan-kiri untuk mengamati peserta resepsi lain menyantap ayam itu. Ternyata ada seorang pengusaha paruh baya yang saya tahu (bukan kenal lho!) yang sedang asyik menyantap ayam .... pake tangan langsung!
Kontan saya berpikir: lha, orang kaya kayak gitu aja gak jaim makan pake tangan, kenapa aku yang kere begini mesti gengsi? Tanpa ragu, saya letakkan sendok dan garpu yang sedari tadi sempat bekerja keras, dan mengganyang ayam itu dengan sensasi kenikmatan yang wuiiih ...
Ternyata, back to primitive way could be a nice ways!

Labels:

05 July 2007

Tidak Ada Peran Besar Atau Kecil

Judul di atas adalah kutipan dari pernyataan seorang bintang film senior Indonesia, Christine Hakim, tatkala ia menanggapi komentar posisi figuran dalam film berjudul Anak-Anak Borobudur ("Totalitas Seorang Christine Hakim" dalam www.kompas.com/ hiburan/0707/04/070108.htm.

Lebih lanjut ia menegaskan bahwa profesionalitas menuntut totalitas, baik dalam hal yang besar sampai yang kecil. Peran yang kurang dari tiga menit maupun peran utama yang dimainkan dalam sebuah film dinilai sama-sama harus dikerjakan dengan profesional bagi seorang Christine Hakim. Ini baru profesionalisme sejati!

Salah kaprah sekali kalo profesionalitas sebuah profesi ditentukan oleh tingginya tarif pemakaian jasanya.
Ini yang cenderung terjadi dalam kalangan bisnis. Bahkan sampai merambah area 'profesionalisme' pengkotbah keliling.
Bagi jenis pengkotbah 'bisnis', tampil profesional menjadi alasan untuk pemasangan tarif kalo ada gereja/persekutuan/seminar yang hendak 'memesan' mereka.
Bahkan saya kenal satu-dua orang senior saya yang rupanya sejak di STT sudah punya semangat profesionalisme ngawur macam itu, yang bercita-cita mulia menjadi 'pembicara keliling'. Tinggal menetap di sebuah gereja--apalagi gereja di pelosok? No way buat mereka. Kecuali, tentunya, di pelosok Jakarta Pusat atau di pinggiran Los Angeles. Sebab buat orang-orang macam senior saya itu, tebal tipisnya amplop (dengan nominal lembaran yang diisi tidak kurang dari pecahan lima puluh ribuan) adalah ukuran profesionalitas mereka.

Salah seorang senior itu satu kali pernah berujar kepada saya, "Kita ini kalo lulus, paling di cari orang. Minimal kita bisa dibayar dua juta! Jangan mau terima gaji kurang dari itu!" Wah, saya jelas pusing bin jengkel plus sedih mendengar omongannya itu. Masih ingat sekali saya menjawabnya dengan ketus, "Kalo mau cari gaji gede, mendingan gue balik kerja lagi aja! Gak usah jadi begini!"

Tapi Tuhan baik dengan mengijinkan orang macam itu ngomong begitu pada saya.
Saya sedang diingatkan untuk punya prinsip profesinalisme yang benar, yang tidak salah kaprah bin ngawur macam senior saya itu.
Juga supaya saya boleh berprinsip seperti pribadi-pribadi profesional sejati macam Christine Hakim itu: tidak ada peran besar atau kecil, semua harus dikerjakan dengan totalitas!
Semoga sampai kelak saya bisa berpegang pada profesionalisme sejati yang setia dan punya totalitas, baik dalam hal yang besar maupun yang kecil. Semoga ...

NB: please pray for me to be faithful in all matters, please ....

Labels:

Perempuan (ibu!), jangan menangis!

Perempuan (ibu!), jangan menangis!
meski Ibu masih tidak bisa mengerti apa yang Kubuat,
bukankah Ibu sadari sesuatu sejak dulu?

Aku memang harus begini,
dan Aku sedang menjalani yang seharusnya Kujalani;
itu sebabnya Ibu tak perlu menangisi Aku,
karena Akulah yang ingin menangisimu, Bu …

Aku sudah payah,
dan akan lebih payah lagi bila Ibu meratapi Aku,
sebab sejak tiga puluh tahun lalu Ibu sudah menerima Aku menumpang di rahim Ibu,
membiarkan segudang kebingungan tatkala Ibu harus membawaku dalam perut Ibu,
yang membuncit berisi, tanpa benih seorang lelaki pun masuk ke dalamnya;

Perempuan (ibu!), jangan menangis!
kala rembang siang nanti berlalu, Aku sudah menyelesaikan apa yang seharusnya Kuselesaikan,
sebab Aku bukan putra Ibu yang bisa Ibu miliki seperti perempuan-perempuan lain yang melahirkan,
Aku adalah titipan dalam perut Ibu,
Aku adalah Putra Kekekalan, Firman yang menjelma, Sang Khalik yang menitis

bukankah Ibu sudah menyadarinya sejak dulu?
apakah Ibu sudah mulai membuang apa yang pernah Ibu simpan dalam hati Ibu,
sejak Gabriel datang pada Ibu dan menyampaikan hal yang bahkan dalam lamunan pun Ibu tak akan mampu hayalkan?
saatKu telah tiba, Ibu
saatKu telah tiba

berhentilah menangis, Perempuan
berhentilah menangisi Aku;
sebab mulai sekarang Aku yang akan menjerit menangis
untuk ibu dan seantero ciptaan sejenis dengan Ibu;
membiarkan diri ditinggalkan,
supaya makhluk sepertimu, Perempuan
tidak akan lagi menjadi ditinggalkan …

berhentilah menangis, Perempuan
sebab kelak engkau boleh menangis
dalam kebahagaiaan yang tak terbandingi,
dalam pelukanKu menyambutmu, Perempuan, di sorga yang mulia!

Labels:

04 July 2007

mari kita bicara tentang menghamba

mari kita bicara tentang menghamba
yang bukan ucap bibir belaka, cuapan klise yang basi;
yang bukan seperti para dewan wakil rakyat meributkan tunjangan mereka,
di tengah penampungan pengungsi yang masih terlantar;
yang bukan seperti mereka yang sudah mati hati nurani,
hanya punya satu pikiran (kalau mau menyebutnya sebagai: pikiran):
kemakmuranku, kesenanganku, jabatanku …

bukan pula seperti para dewan wakil rakyat yang serupa
yang lebih sibuk berteriak interpelasi iran,
tapi buta-tuli-lumpuh terhadap tangisan korban lumpur Porong,
kelaparan yang sporadis tapi real di seantero nusantara;

mari kita bicara tentang menghamba
yang bukan lips service dari para pemuka,
yang cuma bisa bicara cinta, tanpa tindakan
yang cuma bisa bicara kasihan, tanpa uluran tangan
yang cuma sibuk kejar amplop, kejar proyek menara Babel;

sebab niat belum apa-apa,
dan sejatinya bukanlah apa-apa,
kosong semata, yang cuma punya bunyi nyaring dan gema yang memekakkan,
lantas lenyap begitu saja ...

mari kita bicara tentang menghamba
tanpa sepatah kata, tanpa gembar-gembor, tanpa iklan
hanya tindakan, perbuatan, aksi semata
(yang memang tidak pernah membawa kita pada popularitas,
menjauhkan kita dari tempik sorak pujian,
bahkan nyaris tidak perlu harapkan sepotong ucapan terima kasih sekali pun;
benar-benar bisu untuk sebuah keglamoran dan kebanggaan)

supaya kelak,
Dia yang melihat apa yang tak terlihat itu,
yang jauh dari aplaus apa pun dari manusia,
biarlah Dia sendiri yang berlari memeluk kita
kala kita tiba di haribaanNya,
untuk menerima apa yang memang sepatutnya kita terima
atas sedianya menghamba tanpa pamrih dan umbaran kata-kata belaka.

Labels:

03 July 2007

Zakheus: ketika Dia menjumpaiku

'Dia datang, Dia bakal lewat sini!'
dan jantungku pun berdegup,
dalam detakan keras yang tak pernah terjadi;
Dia? biarpun ini sekedar mimpi, halusinasi, fatamorgana,
sebut apa saja, aku bertekad untuk melihatNya.

ya, gemuruh pembicaraan menggodaku lebih dari rayuan manis pelacur istana;
ini gosip yang paling mengundang hasrat, menantang keinginan
sampai aku berlari seperti orang gila menerobos istana kecilku
meninggalkan istri yang terperangah ditengah kesibukan dandannya,
meninggalkan anak-anakku yang melongo takjub menyaksikan sang papa,
meninggalkan para pelayan yang mestinya biasa melihat aku gila,
meninggalkan meja kerjaku yang penuh kemilau dari keping-keping dinar
(bahkan setumpuk kecil talenta perak di ujung meja!);
bahkan meninggalkan centeng penjaga yang dengan kalang kabut mengejarku, sampai terpaksa kuusir agar tidak ikut campur urusanku ...

'hei, pendek bangsat, minggir kau!'
'jangan beri dia jalan!'
'halangi dia!'
antusias sekali orang-orang sekampungku itu ...
dan barisan semakin merapat di setiap celah yang coba aku terobos

tak ada pilihan lain,
selain sebatang pohon yang berdiri memberi tempat bagiku;
setiap hari ia berdiri tegak di pinggir jalan itu,
tapi baru hari ini ia terlihat sangat ramah padaku--yang biasa cuek padanya
aku menyambut keramahan pohon tua itu
tanpa ragu semakin tinggi ku angkat jubah luarku,
memberi sedikit ruang gerak untuk menjejakkan kaki di batangnya yang kokoh,
sambil dengan gemetar tangan-tanganku mencengkeram juluran dahan yang dapat digapai

Itu Dia!
kepulan debu semakin mendekat,
mengikuti langkah-langkah rombongan yang bagai karnaval tahun baru
dengan seorang superstar yang berjalan di depan,
bayangkan: Rabi yang terkenal itu!
dan segala lecet dan goresan luka dari tubuh yang tak pernah memanjat apapun
selain kesenangan duniawi ini tak terasakan lagi,
sebab Orang itu bisa kulihat!

cukup, cukuplah!
tenggorokanku kering,
sementara benakku berdebat keras, jauh lebih hebat dari senat Roma yang keras kepala itu
aku terus menahan diri untuk tidak berteriak memanggilNya,
karena cukuplah bisa melihat seperti apa Dia

aku, orang tersisih yang paling dibenci orang sebangsaku
tidak pernah berani, bahkan dalam mimpi sekali pun,
mendengar orang sesuci Dia menyapaku;
tapi, ini jelas bukan mimpi
(sebab aku nyaris terjungkal dari dahan tempat aku dengan susah payah bertahan)
Dia, Dia yang berhenti di dekatku,
maksudku, di dekat pohon ramah yang aku tumpangi ini;
Dia berhenti,
Dia mengangkat kepalanya, dan ... oooh! Dia menengadah kepadaku!
Dia melihat kepadaku!
aku nyaris menangis ketika suaraNya yang lembut berkata kepadaku
(ya, jelas kepadaku! bukan kepada kumbang yang dengan sibuk hilir mudik di sekitarku,
atau pada burung-burung kecil yang lalu lalang di sekitarku):
"Zakheus, turunlah. Hari ini Aku mau mampir ke rumahmu"

aku biarkan diriku merosot turun,
dan setengah berlari mendapatkanNya, meski itu tidak perlu kulakukan
karena jarak yang Dia buat antara kami hampir tidak ada lagi;
aku ingin memeluk kakiNya, menciumnya--tak peduli debu tanah yang melapisinya bak pupur para perempuan

hari itu, ya hari itu
aku sudah bukan Zakheus yang dulu lagi!
istri, para anak dan pelayan,
bahkan gubernur wilayah pun tidak akan mendapati Zakheus yang sama lagi!
sebab Dia telah sudi menyentuh orang malang yang haus cinta dan penerimaan ini,
yang telah mengisi sampai meluap rasa kehausan ini
aku, Zakheus, telah menjadi orang yang paling bahagia,
sebahagia yang tak pernah bisa kuimpikan sekali pun!

Labels:

02 July 2007

Ketika Sandal Jepit Lebih Berharga Dari Sepatu Kulit

Saya punya kesan tersendiri dengan sandal jepit saya.
Sandal itu adalah benda yang menempati urutan nomor dua, dengan kamar mandi di urutan pertama, tatkala timbul emergensi akibat tuntutan isi perut yang sudah mendesak minta dikeluarkan dengan cara yang alami.
Seingat saya, tidak pernah deh kalo pas lagi sakit perut, trus saya meraih sepatu saya, memakainya, lalu berlari dengan penuh gairah ke kamar mandi.
Bahkan, seandainya pun saya mengalami stres berat, rasanya hal itu juga masih gak mungkin saya lakukan. Entah kalo ada pasien RSJ yang lebih memilih pake sepatu ketimbang sandal jepit kalo ingin ke 'belakang'.
Sandal jepit seringkali menjadi benda yang dipandang sebelah mata. Baru dirindukan dan dicari-cari kalo sudah kepepet. Kalo pas lagi butuh. Nasibnya tidak kalah tragis dengan pria kaya yang digaet cewek matre; bedanya, sandal adalah benda mati, kalo pria (yang berkelas homo sapiens ya, alias manusia!) adalah makhluk hidup berakal budi.
Kembali ke laptop, eh, ke sandal jepit, dalam situasi tertentu valuenya bisa melebihi sepatu kulit yang paling mahal sekalipun.
Itu mirip sekali dengan cara kita memperlakukan kesehatan kita. Ketika sehat, memelihara tubuh agar terjaga dengan baik adalah hal yang sepele, kurang diperhatikan, nyaris terabaikan. Tetapi begitu terserang penyakit, apalagi yang parah, baru kita bisa melihat betapa kesehatan adalah hal yang amat sangat paling berharga.
Kesehatan, selain sandal jepit, adalah satu dari sekian banyak hal yang kita miliki, yang seringkali kita sepelekan keberadaannya. Dan baru dirasakan keberhargaannya ketika kita sedang membutuhkannya.
Alangkah baiknya kalo kita bisa belajar menghargai apa yang mungkin selama ini kita anggap sepele, padahal kita membutuhkannya--meski tidak setiap saat.
Karena ada saatnya sandal jepit jauh lebih berharga dari sepatu kulit!

Labels:

Tidak Tahu Malu

Mungkin kalo Eyang Ronggowarsito melihat sepasang lelaki perempuan yang tampak mesra, padahal masing-masing sudah punya pasangannya sendiri (pacar atau istri/suami), yang bahasa 'keren'nya TTM = Teman Tapi Mesra, pasti ia semakin yakin bahwa "zaman semakin edan ...."
Sepengetahuan saya, TTM cenderung merupakan bentuk legalisasi dari perselingkuhan. Maksudnya, itu adalah berselingkuh yang resmi, yang ga perlu kuatir untuk dilihat orang. Khan kalo ditegur tinggal bilang: kami ga pacaran kok, cuma teman biasa ... kan kami masing-masing udah punya (kekasih) ...
Istilah yang populer dari vocal Ratu (yang sekarang bubar, mungkin karena terlalu khusyuk obral TTM dan Lelaki Buaya Darat, sampe lupa bicara tentang cinta yang tulus, yang setia, yang bertanggung jawab, yang monogami) ini memang punya argumentasi yang sepintas masuk akal dan acceptable (buat kalangan yang punya masalah dengan kedewasaan emosional), "... tapi aku sudah ada yang punya ... (kalo gitu) kita berteman saja, teman tapi mesraaaaaa .... aaah ...."
Masalahnya dengan TTM ini adalah bahwa 'isi' dari relasi pasangan yang melakukannya tidak jauh berbeda dengan 'isi' dari relasi hubungan resmi mereka dengan pasangan resmi mereka.
Coba, apa bedanya dengan (katakanlah) orang berpacaran, kalo kemana-mana berdua, ga ketemu beberapa jam aja udah gelisah dan buru2 meraih sarana komunikasi apa pun (mulai dari telpon rumah, handphone, sampe kalo perlu kaleng yang direntang pake benang) agar bisa lanjuuuut sama doi (yang diajak TTM, bukan yang resmi nan sah).
Memang kalo kita 'terlanjur' punya kekasih, trus 'mendadak' juga menyukai orang lain, itu menjadi masalah tersendiri yang rumit nan kompleks.
Dalam kondisi seperti inilah, kedewasaan emosi seseorang diuji: apakah ia mau belajar setia dalam sebuah relasi yang berkomitmen, atau membiarkan diri menikmati 'cinta sampingan' dalam program TTM.
Bukannya tanpa empati saya berkeras menyimpulkan: TTM = berselingkuh; 'resmi' atau tidak bentuk perselingkuhannya. Sebab kalo sejak pacaran aja sudah mulai mendua, bagaimana nanti kalo sudah menikah?
Biarlah kita, yang mau berkembang lebih dewasa sesuai hukum alam yang ditetapkan Pencipta kita, mau belajar untuk bersikap tegas antara yang benar dan yang 'separuh' benar; antara kesetiaan dalam monogamis-relasional daripada monogamis-'cinta sampingan'.
Sebab TTM itu juga sama dengan: Tidak Tahu Malu.

Labels:

01 July 2007

Gereja, Ber-"Mama Mia"lah!

Sejak dapat kesempatan bisa lihat tv (menonton maksudnya), saya jadi punya kesempatan buat sedikit gaul soal acara televisi. Salah satu hasil gaul saya adalah tahu kalo ada program teve Mama Mia di Indosiar.
Menarik sekali, dari 13 peserta yang lolos kualifikasi untuk bisa memperebutkan juara final, ada keragaman latar belakang yang cukup 'wah', mulai dari seorang pengamen yang bernama Ajeng, sampe tuna netra macam Fiersa.
Waktu saya melihat mereka berdua tampil unjuk kemampuan nyanyi, saya teringat pada gereja. Gereja yang mana aja, yang dihadiri siapa aja, tapi yang jelas dimiliki satu aja: Tuhan (jadi, pertanyaan yang benar adalah, "gereja yang mana?" dan bukan "gerejanya [punya] siapa?").
Ketika saya masih duduk di bangku SD, gereja yang saya hadiri punya jemaat yang beragam latar belakangnya. Mulai dari seorang bapak asli Tapanuli yang punya bengkel tambal ban kecil di perempatan jalan sampai pengusaha bisnis komputer yang keturunan Tionghoa. Mulai dari yang tiap datang ibadah pakaiannya sudah terjadwal tetap (itu-itu aja yang dipakai) sampai yang nyaris selalu tampil beda (coba, kalo setahun datang ibadah 52 kali, berarti punya stok baju 52 dong per tahunnya; duh, kalo udah sepuluh tahun, koleksi bajunya udah 520 donk?).
Mulai dari yang suka nongkrong ngopi di warung tegal seperti saya sampai yang biasa ngopi di cafe hotel berbintang, yang harga secangkirnya bisa buat ngopi tiap hari di warung selama sebulan.
Saya masih suka kangen dengan gereja saya yang dulu itu (sekarang sudah nggak seperti itu lagi, sudah diisi dengan orang sederajat dan seetnis saja; sekarang saya bergereja di tempat lain karena satu dan lain hal). Itu karena gereja saya yang dulu itu punya keragaman yang indah. Persis seperti kesan dari keragaman peserta program teve "Mama Mia" itu.
Saya kangen bisa beribadah di gereja yang menerima orang dari berbagai kalangan, yang tidak sungkan menerima orang yang sangat sederhana sekalipun (bahkan yang terpaksa pake sandal karena ga punya sepatu). Yang masa lalu pribadinya buruk dan sempat jadi gunjingan masyarakat. Yang ga populer. Bukan cuma yang naik sedan, yang penampilannya trendi en seksi, yang punya kedudukan terhormat di mata masyarakat.
Sebab kalo gereja nggak bisa menerima keragaman seperti itu, gimana bisa jadi saksi yang sejati? Sebab Tuhan ga panggil gereja hanya dari kalangan tertentu aja; Dia panggil gereja dari segala kalangan, 'Yerusalem, Yudea, Samaria bahkan sampai ke ujung bumi'.
Ah, moga nanti saya bisa melayani di gereja yang sudah ikut program "Mama Mia" dalam keragaman umatnya ...

Labels:

Diri Buruk, Ga Bisa Bercermin

Saya bukan tipe orang yang suka berlama-lama di depan cermin; sebuah keharusan buat saya hanya kalo mo nyisir rambut. Malah kadang-kadang saya menyisir rambut begitu aja, pake feeling, ga pake cermin (tapi jelas pake sisir).
Untunglah, dalam hal lain saya masih suka bercermin.
Sejak saya tahu tentang 'hukum proyeksi tentang diri', saya usahakan untuk lebih rajin bercermin diri. 'Hukum proyeksi tentang diri' itu maksudnya: pandangan ataw penilaian (judgmenting) saya terhadap orang lain cenderung dipengaruhi siapa diri saya sebenarnya.
Misalnya neh: kalo saya bawaannya curiga dan gak percaya saya orang, mungkin sekali sebenarnya saya orang yang ga bisa dipercaya orang. Kalo saya suka menilai orang nggak mampu, mungkin sekali sebenarnya diri sayalah yang nggak mampu.
Pengalaman terakhir yang kembali mengingatkan saya tentang hal cermin diri dan hukum proyeksi ttg diri ini adalah berkenaan dengan teman saya, sebut saja namanya Esti.
Saya suka terganggu kalo mo tanya sesuatu dan harus mendengarkan penjelasan dari Esti. Soalnya, ia punya kecepatan bicara nyaris mendekati 125 km per menit, eh per jam.
Saya selalu alami kesulitan menangkap apa yang ia mo ungkapkan.
Tapi tahukah Anda (mulai seuriues neh ....) bahwa saya sebenarnya juga punya cara bicara yang cepat seperti teman saya Esti (itu dulu sih, sekarang udah belajar lebih pelan ... paling nggak sekarang bisa bicara dengan kecepatan 60 km per jam).
Saya melihat cara bicara 'wus wus wus' ala Esti yang mengganggu itu, sebagai cerminan saya sendiri (kalo masih suka 'ngebut' kayak gitu).
Emang, menghakimi orang lain jauh lebih mudah. Seperti dikatakan Yesus [dengan dimodifikasi sedikit tanpa menghilangkan maknanya]: selembar bulu mata di seberang sungai kelihatan, tapi batang pohon yang nangkring di mata sendiri tak terlihat.
Ya seperti saya itu ... yang melihat kelemahan cara bicara Esti, padahal saya sendiri sebenarnya punya kelemahan serupa. Inilah kenyataan betapa diri buruk, ga bisa bercermin. Coba kalo diri bagus, khan lebih sering nongkrong di depan cermin (soalnya bisa narcis sih: mengagumi diri sendiri, coba kalo jelek, khan ga bisa begitu).
So, pengalaman dengan Esti membuat saya lebih mawas diri; tiap kali di benak ini mulai muncul penghakiman terhadap orang lain, sedapat mungkin coba lihat pada diri: apakah saya juga sebenarnya bersikap atau berlaku seperti orang yang sedang saya hakimi itu?
Emang sih gak selalu bisa mawas diri kayak gitu, tapi paling nggak khan dah punya kesadaran.
(ngomong-ngomong, sekarang saya mulai belajar menilai orang lain itu cakep, pinter en berbakat; khan siapa tahu kalo saya sebenarnya ya seperti itu, he he he ....).

Labels:

Menunggu & Doa Makan

Kemarin sore saya pergi ke sebuah warung tenda yang menjual ayam penyet untuk makan (jelas donk, masa untuk tidur?). Sebenarnya saya segan mampir ke warung tenda 'itu', meski ayam penyetnya lumayan rasanya di lidah saya, coz menyajikan makanannya luamaaa buangeet. Kalo saya mampir untuk makan di sana, saya harus menunggu sekitar setengah jam sejak memesan sampai bisa memperoleh makanan pesanan saya itu. Itu sebabnya mungkin warung tenda itu selalu menyediakan koran untuk dibaca (kedengarannya seperti di ruang tunggu dokter atau apotik ya?). Dan koran yang ada cenderung jadi rebutan, apalagi kalo yang menunggu sudah cukup banyak dan kebetulan sama-sama hobi menghabiskan saat menunggu dengan baca koran.
Selain masalah lama menunggu, saya juga harus 'bergumul' dengan masalah lain yang berkaitan banget dengan masalah menunggu itu: doa makan.
Lho, apa hubungannya menunggu dengan doa makan?
Begini ceritanya: saya sebenarnya bukan tipe yang sabar kalo disuruh menunggu. So, kalo toh saya putuskan untuk mampir ke warung tenda yang lama memenuhi pesanannya itu, saya jelas tahu konsekuensinya--bisa bete nunggu.
Nah, kalo sudah tergoda untuk bete, lantas uring-uringan (apalagi kalo pas mampir mendadak perut berdemonstrasi menuntut 'hak'nya sesegera mungkin diisi), gimana bisa berdoa mengucap syukur. Masak mo mengulang doa yang itu-itu juga (yang dinaikkan baik dengan wajah maupun hati yang cemberut), "Tuhan, makasih untuk ayam penyet yang udah diantar dan siap dimakan, meskipun harus nunggu lamaaaaaa bangeeet ...."
Kembali ke 'jelas tahu konsekuensinya' itu.
Karena saya tahu konsekuensinya kalo bakal lamaaaa bangeeet nunggu untuk bisa makan, maka setiap kali saya sengaja mampir, saya selalu niatkan untuk gunakan itu sebagai kesempatan belajar. Belajar untuk sabar. Apalagi toh udah tahu dan disengaja, bukannya karena faktor diluar kemampuan saya untuk menghindari menunggu itu.
Selain itu, saya bisa belajar tetap cool dan bisa tunduk berdoa untuk makanan itu dengan hati yang juga berdoa (bersyukur, gicuu ...), bukannya hati yang cemberut seperti tampang saya.
Kemarin sore, saya bisa menikmati hasilnya 'bertahan' untuk tetap cool meski harus menunggu. Suasana makan jadi tetap asyik, orang di sebelah saya juga mungkin ikut cool (karena saya ajak ngobrol, seolah tanpa beban menunggu dan menahan lapar). Dan kesaksian iman saya juga tetap terjaga, karena saya berdoa dengan cool (kalimat ini kok kedengarannya mirip iklan produk kecantikan?), bukan dengan bete--baik tampang maupun hati.
Ah, gurihnya ayam penyet itu masih terasa di lidah waktu saya ngetik ini, plus kenangan akan acara antri koran dan obrolan setengah jam dengan pengunjung warung makan yang lain masih terkesan di benak saya.

Labels: