15 July 2007

DEDEN & SPIRITUALITAS

Rekan saya, Deden (bukan nama sebenarnya), rupanya sedang tergila-gila dengan bacaan-bacaan yang berkenaan dengan topik spiritualitas. Karena dia seorang Kristen, dan rupanya tidak punya tendensi ke arah pluralis ataupun universalis (entah kalo ternyata sinkretis-terselubung, :) ...), maka tentu saja spiritualitas yang digila-gilainya adalah yang berkenaan dengan iman Kristen.

Selain suka menenteng-nenteng buku tentang spiritualitas (bahkan mo ibadah Minggu aja nenteng kayak begitu; untung masih ingat bawa Alkitab), Deden juga sudah beberapa kali mondar-mandir tanya tentang buku-buku apa aja yang bisa memenuhi ketergila-gilaannya itu.
Ketergila-gilaan rekan Deden tersebut mulanya membuat saya bersuka hati. Gimana nggak gembira, anak muda begitu sudah punya ketertarikan dengan hal spiritualitas. Yah, lepas dari praduga pencarian jati diri karena faktor rentang usia remaja yang masih ia jalani, paling tidak ia memiliki kehausan akan hal yang benar.

Namun belakangan, saya mulai merasa takut.
Sebab Deden tampaknya sangat tertarik dengan spiritualitas, tapi saya jarang melihatnya menekuni buku utama yang merupakan mata air dari topik yang digila-gilainya itu, yang saya suka istilahkan: ultimate source of spirituality; the Book of book.
Ibarat menu seimbang, ketertarikan untuk melahap susu itu baik; tapi tidak pernah bisa lepas dan melulu begitu tanpa juga menyantap menu empat sehat lainnya. Cari yang sempurna, macam ‘lima sempurna’ itu baik; tapi bukan berarti mengabaikan yang ‘empat sehat’.

Ah, ketergila-gilaannya rekan saya itu menjadi sebuah warning yang kuat bagi saya pribadi. Betapa saya bisa terjebak untuk ‘gila’ pada hal-hal yang sebenarnya baik, tapi bukan yang utama, apalagi yang segala-galanya.
Saya takut menjadi terlalu bersemangat belajar teologi ini-itu, tapi lupa bahwa sejatinya teologi adalah jiwa yang dalam kerinduan dan pencariannya akan Allah, mencari langsung kepada Allah; bukan pada secondary sources. Mengagumi dan bisa melihatNya dalam ciptaan dan filsafat manusia, tapi tidak melupakan bahwa itu baru sebatas wahyu umum; dan wahyu yang sejati adalah yang langsung dan personal sifatnya, yang untuk membedakannya dari yang umum disebut wahyu khusus.
Khusus, karena diberikan pada yang dianugerahi untuk mengimaninya;
khusus karena itu diberikan dengan bentuk yang personal sifatnya, berkembang dalam relasi yang juga relasi yang juga bersifat personal (bukan teknis atau ritualistis).

Saya juga terjebak untuk melihat spiritualitas lepas dari esensinya: the Spirit (alias Allah sendiri). Saya mungkin sekali sudah terkungkung serbuan goresan pemikiran tokoh-tokoh (manusia) dan mengabaikan suara pribadi dari Sang Sumber itu sendiri.

Ah, Deden, kita sama-sama orang yang nyaris terjebak pada kepalsuan spiritualitas; yang bersembunyi dibalik pemikiran manusia, tapi mengesampingkan sabda Sang Sumber.

Labels:

0 Comments:

Post a Comment

<< Home