10 July 2007

MATI TERKEJUT ALA INDONESIA

Meskipun saya mengalami beberapa penghinaan karena saya keturunan Tionghoa, tapi semangat nasionalisme saya tidak pernah luntur. Saya mencintai negeri di mana saya lahir, dibesarkan dan (semoga Tuhan mengizinkan) kelak dikuburkan. Saya kerap merasa sangat sedih kalau melihat negeri yang dikaruniai Pencipta dengan sumber daya alam yang luar biasa kayanya ini sudah begitu parah diperkosa, dieksploitasi habis-habisan. Sama sedihnya kalau mendengar bahwa orang-orang dengan etnis semacam saya selalu dijadikan kambing hitam untuk dituduh atas miskinnya negeri ini.

Padahal, kalau toh kebanyakan warga yang keturunan Tionghoa di negeri ini mencari nafkah dengan berdagang atau buka usaha (yang memang sebagian menjadi sukses sekali), itu bukan semata hasil korupsi atau manipulasi sebagaimana yang dipraktekkan sebagian dari para penghujat yang anti-etnis itu.

Saya pernah berpikir, kenapa sih perantau dari daratan Tiongkok yang datang ke negeri ini dahulu kala tidak petani semua saja? Apa mungkin karena begitu canggihnya para peramal di sono sehingga menyarankan agar para petani di Tiongkok jangan merantau ke Indonesia, sebab nasibnya tidak akan berubah; malah lebih susah, sebagaimana yang dialami sebagian besar petani di negeri tercinta ini sekarang.

(Lalu saya sadar, bahwa petani tidak memiliki jiwa rantau, sebagaimana yang mengalir dalam darah pedagang; so, itu yang menyebabkan hampir seluruh perantau—khususnya dari daratan Tiongkok—punya kecenderungan untuk mencari nafkah dengan berdagang, bukan bertani).

Kembali ke hal nasionalisme dan korupsi/manipulasi di negeri ini, saya pernah berkeinginan untuk mati demi negeri ini.
Begini kisahnya: konon saya yang gampang kagetan ini, ternyata punya kecenderungan mengidap sakit jantung (apalagi dipicu dengan hobi menghirup kopi dan jajan gorengan, terutama pisang goreng). Begitu saya menyadari hal ini, diam-diam saya mengumamkan sepelintir doa, “Tuhan, kalo toh pada akhirnya Dikau menghendaki saya meninggal karena serangan jantung; ijinkanlah saya meninggal karena begitu terkejut atas berita nasional bahwa Indonesia, negeri yang marak korupsi, manipulasi dan perpecahan ini, telah menjadi negeri yang sepenuhnya bebas korupsi, bersih manipulasi, dan penuh damai …”
(Jadi bukan mati perang atas nama agama—yang seharusnya membawa damai dan pengampunan [kalo mati berperang agar negeri ini tidak dijajah bangsa lain sih oke], atau karena kolesterol tinggi akibat terlalu banyak makan enak, hidup mewah dari hasil korupsi atau manipulasi harta bangsa).

Dan saya bukan satu-satunya etnis keturunan Tionghoa yang punya rasa cinta yang besar terhadap negeri tercinta ini. Saya bukan satu-satunya orang yang selalu diteriaki dengan nada menghina, “Cina! Cina!” namun tidak pernah kehilangan semangat untuk bisa membangun negeri ini sesuai daya saya. Sebab saya kenal cukup banyak Aseng, Aliong, Mei Ling dst., yang bangga dan penuh hasrat untuk berdedikasi bagi negeri ini, menepuk dadanya dan berujar, “Saya orang Indonesia!”

Labels:

0 Comments:

Post a Comment

<< Home