09 July 2007

BACK TO ‘PRIMITIVE WAY’

Mungkin fenomena ungkapan yang populer di bibir Tukul Arwana yang spektakuler itu, “Kembali ke ... laptop!” bisa dikembangkan menjadi, “Kembali ke ... jadul (alias jaman dulu)!”
Saya seringkali heran, kenapa istilah ‘jadul’ selalu memiliki konotasi yang negatif? Ketika kita melihat sesuatu yang kita anggap kuno atau ketinggalan, kita pasti dengan gaya (sok) gaul berceloteh, “Uh, jadul!” Padahal ‘jadul’ punya sisi tersendiri yang penting. Salah satunya adalah: sejarah (Wah, bagi Anda yang sangat berhasrat untuk kabur dari pelajaran bertajuk ini, tentu Anda akan sangat tidak setuju sekali dengan saya ...). Itu rupanya yang membuat semboyan terkenal dari Bung Karno, presiden RI pertama, terlupakan: “jas merah”. Hayo, apa kepanjangan dari semboyan yang pernah dilontarkan proklamator kita itu?
Sejarah seringkali membuka wawasan kita tentang banyak hal, selain membuat orang yang menghargai dan mau belajar darinya bertambah bijaksana. Salah satu sejarah yang mengesankan saya baru-baru ini adalah sebuah masakan di daratan Tiongkok. Namanya masakan ayam “si gembel”. Resep masakan ‘si gembel’ yang riwayatnya diceritakan dalam Intisari edisi Juli 07 ini lahir dari kondisi kelaparan para gembel waktu itu. Di tengah penderitaan akibat perut yang meronta-ronta minta diisi, seekor ayam melenggang santai tanpa curiga di depan mereka. Sontak sang ayam ditangkap beramai-ramai untuk disantap. Tentunya, harus diolah alias dimasak dulu. Nah, ditengah ketiadaan alat maupun bumbu masak, para gembel itu harus putar otak memikirkan cara mengolah ayam temuan itu agar bisa terasa ‘maknyuss’.
Alhasil, dengan cara yang amat primitif, mereka mengolah ayam tadi dengan membelah perutnya serta mengeluarkan bagian yang tak bisa dimakan. Setelah membungkusnya dengan sehelai daun teratai dan melumurinya dengan lumpur dari pinggir danau, selama empat jam buntalan ayam berselimut lumpur itu mereka bakar dengan perapian sederhana. Hasilnya, wuiih, daging ayam matang dengan aroma dan cita rasa yang benar-benar maknyusssss!
Sejak saat itu, resep itu kemudian berkembang (wah, kalo waktu itu para gembel yang menemukan resep ayam yang primitif itu sudah ngerti franchise, bisa kaya tuh, menyaingi pemilik brand KFC).
Resep masakan ayam ala “si gembel” ini mengingatkan saya bahwa apa yang bisa kita nikmati sekarang adalah hasil dari apa yang kita anggap jadul. Kita cuma bisa tahu bahwa Bill Gates itu kaya, Edison itu jenius, Tukul Arwana itu ngetop; tapi kita tidak (mau) tahu apa yang terjadi sebelum mereka bisa seperti itu. Bill Gates dulunya seorang pemuda putus sekolah, Edison malah dicap bodoh, Tukul sempat dikeluarkan dari grup lawak tertentu karena dianggap tidak lucu. Riwayat mereka (mungkin) adalah hal yang jadul buat kita. Tapi apa yang jadul itu justru yang paling penting dan relevan buat kita, dibanding kekaguman kita pada tokoh-tokoh yang saya contohkan tersebut.
Hal lain mengenai primitif adalah olah raga. Kita sekarang cenderung mengenal olah raga praktis di fitnes-fitnes centre; yang notabene memiliki peralatan olah raga yang mahal. Tempatnya pun elit, full AC. Padahal, jalan kaki atau lari pagi di lintasan alam yang sebenarnya—bukan di treadmill yang tidak membawa kita kemana-mana selain lari di tempat—adalah olah raga yang jauh lebih baik, selain murah dan punya nilai nature touchableness yang tinggi. Jadul? Mungkin. Tapi jelas lebih baik. Kurang nyaman? Barangkali. Tapi jelas lebih ‘hidup’.
Contoh lain lagi mengenai primitif adalah, cara makan. Buat saya, makan pakai tangan langsung (dalam artian gak pake sendok-garpu), jauh lebih nikmat, khususnya untuk menyantap hidangan tertentu seperti masakan ikan bakar, bebek goreng, ayam penyet, pecel lele de el es be (duh, jadi laper nih ....). Saya tidak bisa melupakan masa-masa jaim saya berkenaan dengan makan pakai tangan langsung. Dulu, saya pernah datang ke resepsi yang diadakan di sebuah restoran, yang menu utamanya adalah masakan ayam. Dengan antusias, saya mengisi piring dengan nasi dan seonggok dada ayam yang menggiurkan. Setelah memperoleh kedudukan, saya siap kekenyangan dengan isi piring saya itu.
Hanya perlu beberapa menit untuk kehilangan antusiasme dan nafsu makan, karena ternyata sulit sekali mengganyang ayam itu dengan paduan sendok dan garpu. Mau pake tangan langsung, malu, ntar dikira kampungan lagi, primitif. Saya sempatkan toleh kanan-kiri untuk mengamati peserta resepsi lain menyantap ayam itu. Ternyata ada seorang pengusaha paruh baya yang saya tahu (bukan kenal lho!) yang sedang asyik menyantap ayam .... pake tangan langsung!
Kontan saya berpikir: lha, orang kaya kayak gitu aja gak jaim makan pake tangan, kenapa aku yang kere begini mesti gengsi? Tanpa ragu, saya letakkan sendok dan garpu yang sedari tadi sempat bekerja keras, dan mengganyang ayam itu dengan sensasi kenikmatan yang wuiiih ...
Ternyata, back to primitive way could be a nice ways!

Labels:

0 Comments:

Post a Comment

<< Home