05 November 2009

SELUMBAR, BALOK & KEDEWASAAN

"Bagaimanakah engkau dapat berkata kepada saudaramu: biarlah aku mengeluarkan selumbar itu dari matamu, padahal ada balok di dalam matamu" (Matius 7:4) adalah teguran yang keras dari Kristus. Selama ini kita biasa melihat ayat ini sebagai sebuah teguran bagi sikap munafik kita. Sewaktu saya memikirkan pernyataan Dr. Henry Brandt bahwa kedewasaan seseorang itu erat kaitannya dengan sikap dan kemampuan orang tersebut melihat dirinya--kelemahan & kekuatannya. "Balok" dalam ajaran Kristus itu bisa kita lihat sebagai "kelemahan" dalam konteks diri kita. Gambaran 'balok' mewakili sesuatu yang besar, (semestinya) mudah dilihat daripada seulas selumbar yang tipis dan kecil yang jauh dari penglihatan kita.

Menurut Brandt, orang yang dewasa adalah yang cukup obyektif melihat dirinya sendiri, obyektif & jujur dengan siapa dirinya sesungguhnya. Keobyektifan dan kejujuran melihat diri inilah yang Kristus tegaskan untuk kita miliki. Sebab lawan dari keobyektifan & kejujuran melihat diri sendiri jelas adalah: kemunafikan, kata yang jelas diucapkan oleh Kristus berdasarkan catatan Matius maupun Lukas.

Dengan kata lain, kemunafikan secara mental adalah sebuah gejala nyata dari ketidak dewasaan seseorang. Dalam kemunafikan terkandung segala hal yang berlawanan dengan unsur-unsur kedewasaan, terutama unsur keobyektifan & kejujuran melihat diri sendiri.
Balok, sekali lagi, adalah sesuatu yang SEMESTINYA dapat kita lihat dengan mudah. Tantangannya disini ialah: kita dihalangi begitu rupa--jangan melulu salahkan si Iblis, karena masalah-masalah emosional yang tidak beres dalam diri kita juga penyebabnya--untuk melihat hal yang semestinya terlihat jelas oleh kita itu.

Bertumbuh dewasa, jadinya, adalah proses mengatasi halangan-halangan agar kita semakin mampu secara obyektif melihat "balok" di dalam diri kita sendiri. Semakin jelas & jernih kita melihat "balok" dalam diri kita, semakin dewasa kita, rohani maupun mental.
Juga tidak boleh dilupakan, bahwa kita sudah tidak perlu repot-repot lagi mengurusi "selumbar" orang lain, sebab tanggung jawab & peran kita yang utama adalah: belajar menyadari & melihat "balok" dalam diri kita. Dengan begitu, niscaya kita bisa menjadi dewasa sepenuhnya, dewasa secara mental sekaligus rohani!

Labels:

14 January 2009

"Aku pergi berdasarkan kehendak bebas
dengan berkat ketaatan." (Mother Teresa)

·········Meskipun Mother Teresa merasakan panggilan yang kuat untuk melayani kalangan miskin dan "terbuang" di India, ia mengakui bahwa pilihan untuk taat itu ada ditangannya Itu berarti kesediaannya untuk taat adalah keputusannya, berdasarkan kehendak bebasnya. Meskipun pilihan untuk taat pada panggilan yang ia terima semata diambilnya berdasarkan kesadaran dan kerelaan dari kehendak bebasnya, Mother Teresa menyadari bahwa kemampuannya untuk taat itu adalah sebuah berkat. Dengan kata lain, bisa saja ia memilih untuk tidak taat dan membungkam panggilan itu, dan meneruskan pelayanan yang selama ini sudah ia lakukan. Toh sama-sama melayani Kristus.


·········Ketaatan adalah berkat yang dikaruniakan Tuhan baginya. Saya tercenung ketika menyadari itu dibalik kata-kata Mother Teresa. Saya diperhadapkan pada kenyataan bahwa ketika saya mampu menangkap panggilan dan bersedia menjalaninya, kemampuan untuk bersedia itu bukan semata-mata berasal dari diri atau kekuatan saya sendiri. Ada anugrah yang bekerja di situ. Ada berkat, yakni kesediaan untuk taat, yang Allah berikan padaku.


·········Kesadaran itulah yang akhirnya membuat saya mengerti, mengapa orang yang sudah melakukan ketaatan selalu dipenuhi rasa syukur pada Allah. Orang yang memiliki ketaatan sejati selalu menemukan bahwa dibalik "kemampuan"nya untuk taat itu ada berkat, yakni "kemampuan" itu sendiri. Jadi, kalau saya bisa taat pada kehendak Allah, itu adalah berkat. Bukan karena saya hebat atau mampu.


·········Disini jugalah saya memahami predestinasi ketaatan--dimana Allah menentukan siapa yang dikehendakinya menerima berkat ketaatan. Bila ketaatan itu semata-mata berdasarkan kehendak (bebas) saya, maka yang sangat mungkin terjadi adalah, saya tidak akan pernah taat. Mengapa? Karena natur berdosa yang ada dalam diri saya membuat saya cenderung memilih tidak taat ketimbang taat, lebih memilih hal yang memuaskan/menyenangkan ego saya ketimbang menyenangkan hati Tuhan. Pada akhirnya, yang saya butuhkan (baca: mohonkan) dari Allah adalah berkat ketaatan.


Ini jugalah yang akhirnya membuat saya bisa ber"ooooh" mengerti sebuah doa--yang dulu saya tertawakan--yang berbunyi, "Tuhan, berikan aku ketaatan ...."


13 January 2009

Refleksi "Mother Teresa: Come Be My Light" (1)

"Letakkan tanganmu dalam tangan-Nya, dan
berjalanlah hanya bersama-Nya."


[Ini adalah kata perpisahan dari sang ibu kepada Gonxha Agnes Bojaxhiu, 18 tahun, sewaktu Gonxha meninggalkan rumahnya untuk menjadi seorang misionaris. Pesan itu pula yang menghantar tekad gadis itu, yang kelak dikenal sebagai Bunda Teresa, untuk mengiring Kristus sebagai mempelai-Nya yang setia.]

Saya tidak iri dengan Stephen Tong--meski beliau seorang yang sangat bertalenta. Saya tidak iri dengan Billy Graham--meski beliau seorang penginjil yang mendunia. Saya pun tidak iri dengan para pengkotbah KKR besar--yang laris dan dipuja banyak umat, selain bertarif tinggi. Satu-satunya pribadi yang membuat saya begitu iri (baca: mendamba untuk bisa menjadi seperti dirinya) adalah Bunda Teresa, pendiri Ordo Cinta Kasih. Beliau seorang yang melihat dan merasakan dengan begitu jelas pada panggilan Kristus baginya. Hidup beliau membuktikan betapa beliau telah "meletakkan tangannya dalam tangan Kristus, dan berjalan hanya bersama-Nya."

Tidak seperti saya, yang meski merasakan panggilan-Nya, namun tidak memiliki keluasan dan kedalaman hati seperti Bunda Teresa. Pesan sang ibu, saya pribadi yakin, adalah sesuatu yang terus menggema dalam hati dan benak Gonxha. Dan kelak, pesan itu--meski dengan tertatih-tatih--menggema dalam benak saya. Belum sampai dalam hati, karena saya mendapati diri saya masih gemar menikmati kesenangan dunia. Saya belum dapat sepenuhnya "meletakkan tanganku dalam tangan Kristus, dan berjalan hanya bersama-Nya." Saya memang memegang tangan Kristus, tapi saya cenderung berjalan bersama dunia juga. Saya masih seperti seorang anak yang dituntun sang bapa, tapi perhatiannya sepenuhnya pada keramaian dan kesenangan yang bertebaran di pasar malam. Setiap saat genggaman itu bisa saya lepas--dan Dia harus terus berusaha mempertahankan agar saya tidak lenyap di tengah kerumunan pasar malam duniawi (note: istilah ini dipinjam dari "Pilgrim Progress"nya John Bunyan).

Dalam menjalani apa yang sering saya umbar sebagai "menjalani panggilan" (sejatinya hanya Tuhan yang tahu), saya memegang tangan Kristus tampaknya lebih pada kebutuhan, daripada atas dasar kepercayaan.
Bukan seperti yang menjadi pesan sekaligus doa ibu dari Gonxha Bojaxhiu, yang saya pahami sebagai "penyerahan diri sepenuhnya, dengan melepaskan segala sesuatu, dan menaruh segalanya dalam tangan Kristus Tuhan semata." Dengan malu, saya mengakui bahwa ibu dari Bunda Teresa jauh lebih beriman daripada saya. Meski ia tidak "menerima panggilan" dan menjalani pendidikan teologi seperti saya, tapi ia lebih bersandar pada Kristus. Okelah saya bisa menyampaikan kata-kata mutiara yang indah, tapi tak akan pernah menyamai kedalaman dan iman dari pesan sang ibu itu. Saya ingin dialah yang memeluk saya dan membisikan pesan itu di telinga saya, di benak saya, dan di hati saya. Itu sebabnya, sadar bahwa hanya ini yang bisa saya wujudkan, saya menjadikan pesan itu sebagai pesan penghantar saya juga.

Meletakkan tangan dalam tangan Kristus mungkin mudah, tapi berjalan hanya dengan-Nya itu jauh lebih sulit.
Saya masih suka menggenggam "mainan" saya: laptop, game, hobi/kesenangan, hiburan. Saya malah masih membiarkan hal-hal lain mengikuti saya--seperti seorang bocah kecil yang merasa lebih nyaman dengan boneka bututnya daripada pegangan tangan sang bapa. Bocah kecil yang akan menangis kehilangan bila boneka mainan itu tertinggal bahkan hilang, tapi tidak peduli dan tidak menyadari bilamana ia sudah tidak lagi dalam tuntunan tangan bapanya. Saya mungkin memang berjalan bersama Kristus, tapi bukan bersama Dia sebenarnya saya berjalan, melainkan bersama segala kesenangan dan milik. Persis seperti seorang remaja yang menaruh hidupnya pada handphone--sehingga tanpa itu hidup akan berakhir. Persis seperti seorang muda yang menggantungkan jiwanya pada seorang kekasih--sehingga ketika kekasih itu meninggalkannya, hidup sudah tidak ada arti lagi. Persis seperti seorang kaya yang menimbun harta & meletakkan jiwa dan hidupnya di situ--sehingga ketika perampokan atau kebangkrutan menerpa, hidup pun sudah tidak berguna lagi.

Kata-kata pesan dar seorang ibu yang saleh itu seperti gema dari rintihan kerinduan Kristus sendiri bagiku: "Letakkan tanganmu dalam tangan-Ku, dan berjalanlah hanya bersama-Ku."!

Labels:

14 December 2008

NATAL: ADA TEMPAT ATAU TIDAK?

Menjelang momen peringatan Natal tahun 08 ini, saya tercenung pada sebuah catatan dari injil Lukas: "... karena tidak ada tempat bagi mereka di rumah penginapan."

Sebagai bagian dari kalangan miskin, Yusuf (juga Maria) tidak sanggup mendapatkan sebuah tempat yang layak karena mereka tidak punya cukup uang untuk menyewanya. Kalau toh akhirnya sebuah kandang dipinjamkan pada mereka, itu sudah cukup beruntung. Sebab kalau tidak, maka Maria terpaksa melahirkan di lapangan, di pinggir jalan. Tanpa naungan, tanpa perlindungan tembok. (Film "Close to Jesus--Joseph of Nazareth" mendramatisir ketidak mampuan Yusuf menyewa sebuah tempat pada malam itu. Dengan menanggung hinaan karena miskin, ia menuntun sang istri yang sudah hampir melahirkan itu ke sebuah kandang.)

Raja yang lahir ditengah kemiskinan orang tuanya, begitulah realita natal pertama. Tidak ada semarak, tidak ada perayaan. Boro-boro pohon natal yang berhias indah & pakaian baru. Boro-boro penganan natal plus kado-kado natal. Begitu kontras dengan kisah natal yang sesungguhnya. Itu sebabnya, semakin lama saya melihat peringatan natal semakin kabur & menjauh dari hakekat & semangat natal yang sejati.

Sebab natal yang sesungguhnya ternyata jauh dari semarak. Kalau toh ada kemegahan & semaraknya, itu berkat partisipasi "sejumlah besar bala tentara sorga yang memuji Allah" (Luk 2:13), para gembala yang bergegas menjumpai Maria & Yusuf & bayi Yesus setelah dikabari malaikat (Luk 2:16) dan para Majus yang "sujud menyembah Dia ... membuka tempat harta bendanya dan mempersembahkan persembahan kepada-Nya, yaitu emas, kemenyan dan mur." (Mat 2:11).
Namun diluar itu, kita mendapati hanya sepasang suami-istri miskin yang tidak berhasil memperoleh tempat bernaung yang layak, para gembala yang notabene kelompok sosial rendahan pada masa itu, serta sebuah pertemuan para Majus di balai istana Herodes yang penuh intrik sang raja wilayah Israel plus kedegilan para imam kepala & ahli Taurat Yahudi yang memegang nubuat jelas mengenai kelahiran Mesias itu, dan akhirnya dekrit Herodes untuk aksi pembantaian anak-anak di Betlehem.

Kembali pada perenungan: ada tempat atau tidak bagi sang tokoh Natal sejati, kita dapat menarik sebuah kesimpulan reflektif dari kesemarakan di atas.
Pertama, bagi bayi Yesus ada tempat di hati bala tentara sorgawi, para gembala, para Majus, selain Yusuf & Maria sendiri.
Kedua, tidak ada tempat baik di penginapan mana pun di Betlehem, maupun dalam hati orang-orang macam Herodes, para imam kepala & ahli Taurat yang diundang Herodes pada waktu itu.

Adanya tempat bagi Mesias memerlukan persyaratan iman. Maria & Yusuf sejak awal sudah bergumul dengan iman mereka, sementara kandungan Maria semakin besar. Para gembala, yang ketiban anugrah menyaksikan koor dahysat dari paduan suara sorgawi yang rasanya hanya sekali itu saja konser di dunia ini, menyambut kabar kesukaan itu dengan respon yang tanggap. Para Majus, orang-orang yang diberkahi kemampuan membaca tanda bintang & mendapat tuntunan ajaib sampai menemukan Mesias, jelas teruji keyakinan (iman) mereka pada pertanda yang TUHAN berikan itu dalam langkah demi langkah perjalanan yang jauh yang harus mereka tempuh.

Ketiadaan tempat bagi Mesias jelas terjadi pada hati dari orang-orang yang egois, yang menutup mata pada kebenaran & keadilan sosial. Juga terjadi pada kaum religius yang bangga dengan keimanan mereka, sementara ketaatan sejati pada keimanan itu nyaris hanya topeng yang menutupi kemunafikan hati mereka.

Natal sepatutnya menjadi sebuah momen refleksi: bagiku, adakah tempat bagi Kristus, atau tidak? Adakah iman yang taat itu, ataukah aku telah terjebak dalam keegoisan, ketidak pekaan nurani serta belenggu kemunafikan?

Labels:

27 October 2008

LAMA BERKECIMPUNG BELUM TENTU BERPENGALAMAN

Dalam bidang profesi, kita cenderung memiliki pandangan bahwa orang yang sudah lama berkecimpung (istilah kerennya: senior)tentu lebih berpengalaman daripada yang lebih yunior darinya.
Setelah melewati beberapa pengalaman bekerja sama & terlibat dalam beberapa kegiatan, saya mendapati bahwa pandangan senior lebih berpengalaman itu tidak sepenuhnya benar. Sebab letak masalahnya bukan pada "berapa lama" seseorang berkecimpung atau melakukan kegiatan tertentu, tapi lebih pada "berapa banyak ia belajar" dari keterlibatannya selama ini. Ada orang yang sudah 20 tahun menjadi guru, tapi bila dibandingkan rekannya yang baru 10 tahun menjadi guru, ia kalah jauh dari segi metode, kreativitas maupun kepadatan materi. Mengapa ini bisa terjadi? Sebab guru senior 20 tahun tersebut tidak memiliki mental pembelajar, cepat puas dengan kemampuannya sehingga tidak lagi mau menggembleng diri untuk menjadi lebih baik. Berbeda dengan sang yunior yang baru mengajar 10 tahun, yang punya semangat pembelajar, setiap kali ada kesempatan untuk meningkatkan kemampuan mengajar ia manfaatkan untuk dipelajari. Hasilnya, yunior ini memiliki kemampuan & kapasitas profesi mengajar yang jauh lebih baik dari seniornya yang malas mengembangkan diri itu.

Dunia ini bergerak secara progresif, artinya selalu bergerak maju & berkembang terus. Orang yang mengabaikan atau tidak memiliki kemauan untuk terus belajar & berkembang, akan menjadi orang yang "tertinggal." Mungkin lamanya kita berkecimpung atau menjalankan profesi kita adalah hal yang bisa kita banggakan. Tapi kelak akan terbukti apakah itu juga mendukung kualitas pekerjaan/profesi kita, atau ternyata kita hanya pribadi yang mandek, profesional yang "jalan di tempat" secara kualitas.

Sekali lagi, pengalaman tidak melulu (catatan: meski memang salah satunya ditentukan oleh) berdasarkan lamanya seseorang menekuni sesuatu, tapi lebih pada bagaimana seseorang mau belajar & mengembangkan diri terus-menerus pada bidang yg ia tekuni tsb. Qualified senior is person that learning from every matter he does. Not just pride with his seniority.

Labels: