24 March 2008

MINYAK TANAH: BUKTI TIADANYA SENSE OF CRISIS...

Saya terpekur untuk beberapa waktu yang entah berapa menit. KOran yang terhampar di hadapan saya melemparkan berita rencana pemerintah kita membatasi, bahkan akan meniadakan pasokan minyak tanah. Gantinya, pakai gas.

Yang membuat saya terpekur adalah nasib orang-orang "kecil."
Salah satunya adalah seorang sederhana yang bernama Opik. Ketika kami mulai menggunakan kompor gas, hari pertama peralatan untuk memasak itu diaktifkan, kami mendapati Opik agak phobia dengan kompor yang begitu diputar, bledus, apinya langsung menyala bagus, biru tajam. Beda sekali dengan perangkat "primitif" yang harus menunggu apinya menyala bagus untuk bisa memasak.

(Rasanya pemerintah kita bakal mempurbakalakan kompor minyak tanah, sehingga dalam kurun waktu 100 tahun ke depan benda itu akan menjadi barang langka. Peringatan produsen kompor minyak tanah: simpan kompor2 macam ini baik2, sebab nilainya akan berlipat ganda pada sepuluh dasawarsa ke depan, so bisa jadi warisan bernilai bagi anak-cucu kita ...:[).)

Indonesia masih punya berjuta-juta orang macam Opik, yang masih canggung dengan kompor gas, meski tidak terlalu gaptek sebab sudah ngerti apa itu handphone.
Orang-orang penggede di Jakarta rasanya kurang peka untuk sedikit saja berempati pada kelompok masyarakat macam Opik ini. Tapi saya bisa maklum, lha sehari-hari mungkin sekali nggak pernah ke dapur, jadi nggak bisa merasakan gimana pertama kali berkenalan dengan 'teknologi si api biru' yang dipaksakan pemakaiannya dalam skala nasional itu.

Bukan hanya masalah pengenalan perangkat masak yang relatif baru bagi sebagian masyarakat kita, masalah harga gas yang masih cukup mahal juga kendala tersendiri. Apa bisa beli gas secara eceran? Misalnya kalo cuma punya uang tiga-empat ribu rupiah (bukan dolar Amerika macam kualitas isi dompet penggede kita yang maksa pake gas itu), orang seperti Opik bisa ngecer gas ...
Soalnya, orang-orang macam teman saya Opik itu gajinya sebulan setara dengan harga dua kali isi tabung gas. Masak 50% penghasilan seorang kepala keluarga yang harus memberi makan tiga mulut plus empat pasang mulut lagi yang numpang hidup, itu hanya untuk beli gas? Lha, mosok itu keluarga di suruh 'makan' gas?

Orang sudah duduk lupa berdiri, begitulah realitas orang-orang 'di atas sana' yang tidak punya kepekaan sosial sama sekali. Itu menjadi cermin bagi saya juga sih ... sebab kalo sudah keenakan (bjaca: hidup nyaman), susah untuk bisa berempati.

Opik, Opik ... jangan sampai kamu putus asa, lantas itu isi gas bukannya dipakai masak, malah dihirup ramai2 dengan perut2 lapar yang sudah nyaris tidak terisi lagi ...

Labels: