24 January 2008

FENOMENA TUKUL DARI SUDUT KECERDASAN HUMOR BANGSA

Kalau sebagian besar masyarakat di negeri ini sudah pernah atau bahkan cukup sering nongkrong di layar teve untuk ketawa-ketiwi menyaksikan program "Empat Mata" yang dipandu Tukul Arwana, maka rasanya cukup bisalah kalau saya katakan bahwa masyarakat negeri ini memiliki selera humor dan hiburan seperti apa yang disajikan program "Empat Mata" tersebut.
Sebenarnya apa yang ditawarkan Tukul dan Empat Mata itu sehingga begitu memikat pemirsa TV di negeri ini? Kekonyolan Tukul, terutama kesediaannya menjadi "bulan-bulanan" ejekan dan perlakuan inferioris (merendahkan, bahasa kerennya di"enyek kabeh").
Mari melihat dimensi lain: dunia pendidikan di negeri kita.
Oh, soal yang satu ini, yang paling terkenal adalah betapa program pendidikan di negeri ini begitu keranjingan gonta-ganti program. Ganti menteri pendidikan, biasanya diikuti pergantian program pendidikan nasional. Yang paling keteteran ya jelas para guru. Lha wong mereka yang harus menyesuaikan lagi, menguasai lagi metode baru. Lalu yang susah juga para siswa. Lha wong mereka baru "nyicip jurus baru" Depdikbud punya, eh, ganti tahun ganti lagi "jurus." Siapa yang mendapat keuntungan? Jelas penerbit buku, he he he ... apalagi yang bisa gol kerjasama dengan menteri pendidikan serta "gang"nya yang merumuskan kurikulum "terbaru."
Sampai di sini Anda orang yang cerdas kalau Anda bertanya: apa hubungannya Tukul dengan dunia pendidikan kita?
Selera pemirsa negeri ini dan dunia pendidikan di negeri ini memiliki satu esensi yang sama: tingkat kecerdasan orang-orang di negeri ini!
Kita kok senang menertawakan kebodohan (istilah kepolosan keliru, sebab apa yang disajikan Tukul adalah pura2 bodoh/polos), menikmati itu dan menganggap itu sebagai hiburan.
Kita kok nggak kritis dengan gonta-ganti selera program pendidikan negeri ini, padahal yang membuat nggak memahami lapangan pendidikan yang sesungguhnya di negeri ini.
Saya masih ingat, beberapa waktu lalu kita suka menyalahkan Belanda, bangsa yang pernah menjajah kita dan menganggapnya telah membuat bangsa ini menjadi bodoh. Tapi sudah berapa generasi? Mestinya orang2 yg udah sadar bahwa bangsa ini "pernah" dibuat bodoh, ya berusaha agar bangsa ini tidak lagi bodoh. Udah berapa generasi? Tapi kok malah tambah bodoh--dalam artian moralitas dan mentalitas?
Bukti kesimpulan saya bahwa bangsa ini malah tambah bodoh salah satunya adalah betapa kita lebih suka sibuk marah2 karena ada negara lain yang "merebut" apa yang menjadi milik kita (pulau, pasir, produk) tapi kita lalai menjaga dan merawat baik2 apa yang kita ributkan itu. Juga, betapa anggota rakyat lebih menyibukkan diri pada kepentingan segolongan orang (seperti mengurusi Iran atau pemberlakuan Syariat Islam) daripada mengurusi korban Lapindo atau keharmonisan kehidupan berbangsa, sebuah warisan yang dulu pernah menjadi kebanggaan negeri ini.
Bangsa ini sudah sampai pada titik terendah dalam kecerdasannya. Okelah secara teknologi kita nggak begitu ketinggalan. Tetapi dalam banyak segi kita sudah tertinggal jauh. Salah satu contohnya: malaysia dulu belajar dari kita mengenai pendidikan, tetapi sekarang mereka sudah memiliki sistem pendidikan yang jauh lebih baik dari kita!
Ah, kehidupan bangsa ini lama-lama mirip dagelan ala Tukul Arwana: konyol dan bodoh ... secara memalukan!

Labels:

“CEPAT SEMBUH” PAK HARTO (?)

Suharto, mantan presiden Republik Indonesia yang saat ini sedang terbaring sakit, adalah sosok yang sangat polemis di negeri ini. Bapak yang pernah dianugerahi gelar “Bapak Pembangunan Nasional” dan sekaligus juga dikecam sebagai “Bapak Korupsi Nasional” ini entah mungkin sedang menuai apa yang dulu ia telah tabur. Salah satu koran nasional yang saya baca melaporkan dua berita yang isinya sama-sama bertema harapan agar orang yang pernah menjadi sosok nomor satu di negeri ini cepat sembuh. Perbedaannya ialah, yang satu mendoakan beliau cepat sembuh semata atas dasar prihatin dan simpati, yang lain mendoakan beliau cepat sembuh agar bisa segera diadili.
Ketika beberapa waktu lalu, hari-hari di awal “reformasi” terjadi di negeri ini, pak Harto plus keluarga dan sebagian konco-konconya sempat dihujani hujatan dan caci maki. Orang-orang yang sewaktu beliau masih “memerintah” diam seribu bahasa, sekarang sudah pandai mengecam. Bahkan saya kenal beberapa orang yang sebenarnya tidak terlalu mengerti sepak terjang pak Harto, ikut-ikutan mengecam—bahkan isi dan nada kecamannya lebih sadis daripada oportunis yang baru buka mulut setelah pak Harto “turun takhta.”
Duh, saya sampai merinding mendengar berbagai makian dan lelucon menghujat yang sempat mengudara di khalayak umum. Rasanya tidak kalah seram dibanding nonton film horor Thailand. Atau malah jangan-jangan para setan dan hantu di film-film horor Thailand yang setahu saya lebih seram dari punya Indonesia bisa iri melihat betapa jauh lebih seram sehingga membuat orang lebih merinding isi dari hujan caci maki dan hujat terhadap pak Harto?
“Cepat sembuh, pak Harto” yang saya telah singgung di awal dengan kontradiksi secara motif itu membuat saya merenung mengenai diri saya. Mengenai tokoh-tokoh yang sudah berjuang untuk sesuatu, namun toh juga melakukan kesalahan-kesalahan yang tidak kurang fatalnya. Mengenai sosok panutan—entah guru, orang tua atau ulama—yang meski memberi petuah dan petunjuk yang mulia, namun toh tetap terlihat penuh kekurangan. Pak Harto menjadi semacam cermin bagi diri saya maupun kalangan tersebut. Cermin yang menunjukkan wajah yang terbelah. Cermin yang dengan apa adanya memperlihatkan seutuhnya kelebihan dan kekurangan saya dan kalangan tersebut.
Sekeras apa pun saya berjanji untuk tidak melakukan hal-hal yang merugikan orang lain atau yang egois, saya tidak berani menjamin sepenuhnya mampu untuk memenuhi janji itu. Itu mengingatkan saya akan kodrat manusia, yang sesungguhnya sudah rusak oleh dosa. Adalah bohong kalau usaha-usaha religius, ketaatan pada sebentuk ibadah, atau lebih-lebih sedekah yang berlimpah itu mampu memurnikan saya. Sebab di balik itu semua saya tetap manusia berdosa. Allah tidak mungkin terkecoh atau gampang dirayu dengan semua usaha manusia itu—meskipun dikatakan merupakan “perintah” dari-Nya. Kalau memang semua usaha manusia dengan ketaatan pada agamanya mampu membersihkan kodrat seseorang dari polusi pencemaran dosa, maka apa yang kurang dari seorang Suharto selama 32 tahun berkuasa, yang juga tetap tekun dalam ibadahnya? Mungkin malah ketekunan seorang Suharto jauh lebih ikhlas dari satu-dua penghujatnya.
Pak Harto adalah cermin yang sesuai dengan kondisi setiap orang, khususnya di negeri ini. Itu karena setiap kita sama-sama berperilaku, dan kalau punya kesempatan seperti beliau, kita juga mungkin sekali berbuat hal-hal yang sama—atau malah lebih parah barangkali …
Ah, cepat sembuh pak Harto (entah dengan rasa simpati karena Bapak toh pernah memimpin negeri ini maupun keinginan agar Bapak bisa segera diadili untuk apa yang telah Bapak lakukan dengan merugikan bangsa ini)!

Labels: