13 January 2009

Refleksi "Mother Teresa: Come Be My Light" (1)

"Letakkan tanganmu dalam tangan-Nya, dan
berjalanlah hanya bersama-Nya."


[Ini adalah kata perpisahan dari sang ibu kepada Gonxha Agnes Bojaxhiu, 18 tahun, sewaktu Gonxha meninggalkan rumahnya untuk menjadi seorang misionaris. Pesan itu pula yang menghantar tekad gadis itu, yang kelak dikenal sebagai Bunda Teresa, untuk mengiring Kristus sebagai mempelai-Nya yang setia.]

Saya tidak iri dengan Stephen Tong--meski beliau seorang yang sangat bertalenta. Saya tidak iri dengan Billy Graham--meski beliau seorang penginjil yang mendunia. Saya pun tidak iri dengan para pengkotbah KKR besar--yang laris dan dipuja banyak umat, selain bertarif tinggi. Satu-satunya pribadi yang membuat saya begitu iri (baca: mendamba untuk bisa menjadi seperti dirinya) adalah Bunda Teresa, pendiri Ordo Cinta Kasih. Beliau seorang yang melihat dan merasakan dengan begitu jelas pada panggilan Kristus baginya. Hidup beliau membuktikan betapa beliau telah "meletakkan tangannya dalam tangan Kristus, dan berjalan hanya bersama-Nya."

Tidak seperti saya, yang meski merasakan panggilan-Nya, namun tidak memiliki keluasan dan kedalaman hati seperti Bunda Teresa. Pesan sang ibu, saya pribadi yakin, adalah sesuatu yang terus menggema dalam hati dan benak Gonxha. Dan kelak, pesan itu--meski dengan tertatih-tatih--menggema dalam benak saya. Belum sampai dalam hati, karena saya mendapati diri saya masih gemar menikmati kesenangan dunia. Saya belum dapat sepenuhnya "meletakkan tanganku dalam tangan Kristus, dan berjalan hanya bersama-Nya." Saya memang memegang tangan Kristus, tapi saya cenderung berjalan bersama dunia juga. Saya masih seperti seorang anak yang dituntun sang bapa, tapi perhatiannya sepenuhnya pada keramaian dan kesenangan yang bertebaran di pasar malam. Setiap saat genggaman itu bisa saya lepas--dan Dia harus terus berusaha mempertahankan agar saya tidak lenyap di tengah kerumunan pasar malam duniawi (note: istilah ini dipinjam dari "Pilgrim Progress"nya John Bunyan).

Dalam menjalani apa yang sering saya umbar sebagai "menjalani panggilan" (sejatinya hanya Tuhan yang tahu), saya memegang tangan Kristus tampaknya lebih pada kebutuhan, daripada atas dasar kepercayaan.
Bukan seperti yang menjadi pesan sekaligus doa ibu dari Gonxha Bojaxhiu, yang saya pahami sebagai "penyerahan diri sepenuhnya, dengan melepaskan segala sesuatu, dan menaruh segalanya dalam tangan Kristus Tuhan semata." Dengan malu, saya mengakui bahwa ibu dari Bunda Teresa jauh lebih beriman daripada saya. Meski ia tidak "menerima panggilan" dan menjalani pendidikan teologi seperti saya, tapi ia lebih bersandar pada Kristus. Okelah saya bisa menyampaikan kata-kata mutiara yang indah, tapi tak akan pernah menyamai kedalaman dan iman dari pesan sang ibu itu. Saya ingin dialah yang memeluk saya dan membisikan pesan itu di telinga saya, di benak saya, dan di hati saya. Itu sebabnya, sadar bahwa hanya ini yang bisa saya wujudkan, saya menjadikan pesan itu sebagai pesan penghantar saya juga.

Meletakkan tangan dalam tangan Kristus mungkin mudah, tapi berjalan hanya dengan-Nya itu jauh lebih sulit.
Saya masih suka menggenggam "mainan" saya: laptop, game, hobi/kesenangan, hiburan. Saya malah masih membiarkan hal-hal lain mengikuti saya--seperti seorang bocah kecil yang merasa lebih nyaman dengan boneka bututnya daripada pegangan tangan sang bapa. Bocah kecil yang akan menangis kehilangan bila boneka mainan itu tertinggal bahkan hilang, tapi tidak peduli dan tidak menyadari bilamana ia sudah tidak lagi dalam tuntunan tangan bapanya. Saya mungkin memang berjalan bersama Kristus, tapi bukan bersama Dia sebenarnya saya berjalan, melainkan bersama segala kesenangan dan milik. Persis seperti seorang remaja yang menaruh hidupnya pada handphone--sehingga tanpa itu hidup akan berakhir. Persis seperti seorang muda yang menggantungkan jiwanya pada seorang kekasih--sehingga ketika kekasih itu meninggalkannya, hidup sudah tidak ada arti lagi. Persis seperti seorang kaya yang menimbun harta & meletakkan jiwa dan hidupnya di situ--sehingga ketika perampokan atau kebangkrutan menerpa, hidup pun sudah tidak berguna lagi.

Kata-kata pesan dar seorang ibu yang saleh itu seperti gema dari rintihan kerinduan Kristus sendiri bagiku: "Letakkan tanganmu dalam tangan-Ku, dan berjalanlah hanya bersama-Ku."!

Labels:

0 Comments:

Post a Comment

<< Home