16 May 2008

PERCAYA (BACA: BERIMAN) ALA ABRAHAM

“Lalu TUHAN membawa Abraham ke luar serta berfirman: ‘Coba lihat ke langit, hitunglah bintang-bintang, jika engkau dapat menghitungnya.’ Maka firman-Nya kepadanya: ‘Demikianlah banyaknya nanti keturunanmu.’ Lalu percayalah Abraham kepada TUHAN, maka TUHAN memperhitungkan hal itu kepadanya sebagai kebenaran.”
(Kejadian 15:5, 6 bdk. Roma 4:3; Galatia 3:6)

Bila suatu kali seorang konglomerat dunia mendatangi Anda lalu berkata, “Kamu lihat rumah megah di tepi pantai itu? Coba tebak berapa harga rumah megah yang luas beserta seluruh wilayah pantai itu?” Sesaat kemudian Anda hanya bisa menggelengkan kepala karena takjub atas ketidak sanggupan Anda menilai harga sebuah rumah megah yang luas berikut lokasi pantai itu. Sang konglomerat lantas berujar dengan nada yakin, “Nanti kamu punya rumah megah berikut wilayah pantai yang indah itu, milik kamu pribadi.”
Pertanyaannya: apa reaksi Anda?

Bila Anda adalah seorang yang memiliki usaha yang sedang berkembang, maka reaksi Anda hanya tersenyum dan mengangguk. Ya, bila usaha terus berkembang, uang yang terkumpul semakin banyak, maka semakin mungkin untuk memiliki itu semua.
Namun, bagaimana bila Anda seorang karyawan bergaji minim, yang tinggal di sebuah rumah kontrakan—yang kepingin punya motor aja nyaris nggak mungkin, dan setiap tahun dengan pontang-panting mencari rumah kontrakan baru, kalo bisa sama murahnya sekiranya tidak bisa dapat yang lebih murah lagi?

Kondisi yang terakhir itulah yang dapat dikatakan sebagai gambaran kondisi Abraham sewaktu menerima janji TUHAN tentang keturunan.

Malam itu, Abraham diajak TUHAN memandang langit yang penuh bintang, lantas disuruh menghitung jumlah bintang yang tak terbilang banyaknya itu. Kemudian, tanpa basa-basi lagi TUHAN melontarkan janji kepada lelaki yang sudah lanjut usia dan tidak bisa punya anak itu: “Demikianlah banyaknya nanti keturunanmu.”

Sekali lagi inilah kondisi Abraham pada saat TUHAN mengatakan janji-Nya itu: umur sudah tua, istri juga sudah tua dan mandul.
Untunglah TUHAN berbicara pada seorang yang memiliki kepekaan rohani yang baik. Sebab kalo tidak, maka sangat mungkin Abraham menafsirkan janji TUHAN itu sebagai SIM L aliar Surat Izin Menikah Lagi, dengan alasan yang lumayan kuat: pengin punya keturunan.
[Meski beberapa waktu kemudian ia mengambil seorang gundik, tapi itu atas saran dan desakan istrinya (Kejadian 16:2). Alkitab tidak pernah mencatat jelas ataupun tersirat bahwa Abraham sendiri yang kepingin ambil gundik (istri kedua).]

Lantas bagaimana reaksi Abraham dengan segala kondisinya yang mustahil punya anak itu? TUHAN menyuruh mencatatnya dengan indah sekali: Lalu percayalah Abraham kepada TUHAN.

Kata “lalu percayalah” memakai bentukan kata yang menurut pengamatan E. Kautch dalam Gesenius Hebrew’ Grammar mengandung arti “dia terus berpegang pada kepercayaannya (kepada seseorang).”
Ini berarti, “lalu percayalah”nya Abraham bukan dimulai atau berakar pada malam itu, yakni ketika TUHAN berjanji tentang banyaknya keturunannya kelak. “Lalu percayalah”nya Abraham itu adalah iman yang sejak dulu ia miliki, yakni sebelum TUHAN memanggilnya ke luar dari kampung halamannya menuju ke tempat yang belum ia ketahui. TUHAN sudah melihat benih iman yang luar biasa itu dalam hati Abram, beberapa tahun lalu. Dalam perjalanannya, Abraham menunjukkan betapa iman itu terus bertunas dan bertumbuh dengan baik—walaupun ada beberapa kejatuhan/kegagalan iman, namun Abraham terus bangkit dan tidak kehilangan imannya itu.

Jauh sebelum para pakar motivasi meneriakkan positive thinking ala Peale sampai the secret-nya Rhonda, Abraham sudah memiliki daya ilahi itu: iman yang setia dan sepenuhnya bersandar pada TUHAN!
Iman Abraham jelas bukan prinsip yang dikumandangkan para pakar motivasi yang ada. Iman Abraham adalah benih ilahi yang Abraham pelihara dan pupuk dengan setia, sehingga terus berkembang di dalam hati, jiwa dan hidupnya.
Itu membuat Abraham—ingat: yang sudah tua dan punya istri mandul—tidak ambruk pingsan karena kaget tidak percaya, ketika TUHAN berfirman: “Coba lihat ke langit, hitunglah bintang-bintang, jika engkau dapat menghitungnya.... ‘Demikianlah banyaknya nanti keturunanmu.”

Bagaimana ya bila kita yang berada pada posisi Abraham, apa reaksi kita?

Labels:

0 Comments:

Post a Comment

<< Home