24 January 2008

“CEPAT SEMBUH” PAK HARTO (?)

Suharto, mantan presiden Republik Indonesia yang saat ini sedang terbaring sakit, adalah sosok yang sangat polemis di negeri ini. Bapak yang pernah dianugerahi gelar “Bapak Pembangunan Nasional” dan sekaligus juga dikecam sebagai “Bapak Korupsi Nasional” ini entah mungkin sedang menuai apa yang dulu ia telah tabur. Salah satu koran nasional yang saya baca melaporkan dua berita yang isinya sama-sama bertema harapan agar orang yang pernah menjadi sosok nomor satu di negeri ini cepat sembuh. Perbedaannya ialah, yang satu mendoakan beliau cepat sembuh semata atas dasar prihatin dan simpati, yang lain mendoakan beliau cepat sembuh agar bisa segera diadili.
Ketika beberapa waktu lalu, hari-hari di awal “reformasi” terjadi di negeri ini, pak Harto plus keluarga dan sebagian konco-konconya sempat dihujani hujatan dan caci maki. Orang-orang yang sewaktu beliau masih “memerintah” diam seribu bahasa, sekarang sudah pandai mengecam. Bahkan saya kenal beberapa orang yang sebenarnya tidak terlalu mengerti sepak terjang pak Harto, ikut-ikutan mengecam—bahkan isi dan nada kecamannya lebih sadis daripada oportunis yang baru buka mulut setelah pak Harto “turun takhta.”
Duh, saya sampai merinding mendengar berbagai makian dan lelucon menghujat yang sempat mengudara di khalayak umum. Rasanya tidak kalah seram dibanding nonton film horor Thailand. Atau malah jangan-jangan para setan dan hantu di film-film horor Thailand yang setahu saya lebih seram dari punya Indonesia bisa iri melihat betapa jauh lebih seram sehingga membuat orang lebih merinding isi dari hujan caci maki dan hujat terhadap pak Harto?
“Cepat sembuh, pak Harto” yang saya telah singgung di awal dengan kontradiksi secara motif itu membuat saya merenung mengenai diri saya. Mengenai tokoh-tokoh yang sudah berjuang untuk sesuatu, namun toh juga melakukan kesalahan-kesalahan yang tidak kurang fatalnya. Mengenai sosok panutan—entah guru, orang tua atau ulama—yang meski memberi petuah dan petunjuk yang mulia, namun toh tetap terlihat penuh kekurangan. Pak Harto menjadi semacam cermin bagi diri saya maupun kalangan tersebut. Cermin yang menunjukkan wajah yang terbelah. Cermin yang dengan apa adanya memperlihatkan seutuhnya kelebihan dan kekurangan saya dan kalangan tersebut.
Sekeras apa pun saya berjanji untuk tidak melakukan hal-hal yang merugikan orang lain atau yang egois, saya tidak berani menjamin sepenuhnya mampu untuk memenuhi janji itu. Itu mengingatkan saya akan kodrat manusia, yang sesungguhnya sudah rusak oleh dosa. Adalah bohong kalau usaha-usaha religius, ketaatan pada sebentuk ibadah, atau lebih-lebih sedekah yang berlimpah itu mampu memurnikan saya. Sebab di balik itu semua saya tetap manusia berdosa. Allah tidak mungkin terkecoh atau gampang dirayu dengan semua usaha manusia itu—meskipun dikatakan merupakan “perintah” dari-Nya. Kalau memang semua usaha manusia dengan ketaatan pada agamanya mampu membersihkan kodrat seseorang dari polusi pencemaran dosa, maka apa yang kurang dari seorang Suharto selama 32 tahun berkuasa, yang juga tetap tekun dalam ibadahnya? Mungkin malah ketekunan seorang Suharto jauh lebih ikhlas dari satu-dua penghujatnya.
Pak Harto adalah cermin yang sesuai dengan kondisi setiap orang, khususnya di negeri ini. Itu karena setiap kita sama-sama berperilaku, dan kalau punya kesempatan seperti beliau, kita juga mungkin sekali berbuat hal-hal yang sama—atau malah lebih parah barangkali …
Ah, cepat sembuh pak Harto (entah dengan rasa simpati karena Bapak toh pernah memimpin negeri ini maupun keinginan agar Bapak bisa segera diadili untuk apa yang telah Bapak lakukan dengan merugikan bangsa ini)!

Labels:

0 Comments:

Post a Comment

<< Home