15 July 2007

TIDAK RATA SUPAYA LAJU

Di zaman yang maunya serba mulus dan instant ini, ternyata masih ada beberapa hal yang masih tetap dipertahankan untuk tidak mulus dan tampaknya juga tidak instant.
Bola golf misalnya. Tidak seperti kebanyakan bola yang lain, bola golf justru dibuat bopeng alias tidak rata. Lho? Yah, saya memang tidak pernah dan mungkin tidak akan pernah main golf, tapi mengetahui bahwa ada bola bopeng jelas sebuah informasi yang unik. Menarik sekali di Intisari edisi Juli 07 dijelaskan bahwa kebopengan bola golf ini belum ada pada awalnya. Jadi, mulanya bola golf dibuat sama seperti bola-bola lainnya, bulat polos alias rata.

Seiring perkembangan, justru bola golf rata yang sudah tidak rata karena sering digeplak dengan stik, melayang lebih jauh ketimbang bola yang masih rata.
Itulah awal penemuan dan perubahan bentuk sang bola: sekarang dibuat bopeng, alias tidak rata permukaannya.

Kualitas lebih yang dihasilkan dari bola yang sudah dibuat bopeng itu tentu saja punya konsekuensi. Bola golf yang bopeng punya hambatan awal yang untuk meluncur, sebab itu perlu tenaga lebih untuk melambungkannya. Tetapi setelah melambung, hambatan berkurang dan laju bola lebih jauh ketimbang bola yang mulus, yang melambungkannya lebih ringan tapi meluncurnya tidak jauh.

Ketidak rataan atau ketidak mulusan dalam banyak hal seringkali berfungsi seperti bopengnya sang bola golf: supaya hidup kita bisa lebih ‘meluncur’, lebih laju. Tidak seperti awal yang mulus, mudah dan tidak menuntut usaha yang lebih; yang hanya menghasilkan hidup yang begitu-begitu saja, yang lama-kelamaan membentuk karakter lamban dan malas dalam diri kita, mentalitas ‘kalo ada yang mudah, ngapain cari yang susah’.

Itu rupanya yang membuat Jepang yang sudah mulai luluh lantak lantaran gempuran bom atom sampai kekalahan perang yang harus diterima meski sangat pahit, bisa bangkit menjadi negara yang diperhitungkan sekali dalam kancah Internasional (tidak seperti Indonesia, negeri yang subur, yang punya modal alam besar sekali, wilayah yang luas, penduduk yang banyak, tapi sumber daya manusia berkualitas yang sangat minim).
Itu rupanya yang membuat Singapura, negara yang tidak lebih besar luasnya dari sebuah kabupaten kecil di Sumatra atau Kalimantan, bisa terkenal dengan segala potensi yang meski minim sekali, tapi dioptimalkan pemberdayaannya (yang sebenarnya Indonesia miliki berlimpah-limpah, tapi tidak dikelola dengan baik, selain dieksploitasi dan dikorup untuk kepentingan sendiri).
Itu rupanya yang membuat nilai rekan saya, yang harus bersimbah keringat dan meneteskan air mata (asli, bukan akting sinetron) untuk bisa dapat nilai lolos (alias gak perlu fail sehingga harus ngulang), malah dapat nilai lumayan (gak kayak saya, meski dikaruniai otak lebih encer dikit ketimbang rekan saya itu, tapi dapat nilainya ya nggak jauh beda; padahal kalo mo lebih bersimbah keringat dan sudi meneteskan air mata dalam berusaha, mungkin bisa dapat nilai jauh lebih baik).

Mau yang lancar dan gampang, boleh aja, dengan konsekuensi hasilnya yah itu: kualitas gampangan. Mau bekerja keras dan berusaha meski tidak mudah, memang awalnya gak enak dan susah, tapi hasilnya, waw: kualitas yang optimal.
Sebab memang perlu yang ‘tidak rata’ kalo mau ‘lebih laju’!

Labels:

0 Comments:

Post a Comment

<< Home