11 July 2007

PARADOKSAL MORALITAS ALA INDONESIA (1)

Indonesia memang negeri yang penuh kontradiksi.
Fenomena kontradiksi yang paling sering muncul justru dalam ranah moralitas.
Sementara ada kelompok yang mengatas namakan agama untuk bergerak secara 'tegas' (sejujurnya, lebih tepat disebut: anarkis) untuk 'membasmi' maksiat alias perzinahan. Yang dilakukan: menggerebek tempat-tempat yang dianggap maksiat, memaksakan pemberlakuan syariat agama, menghukum orang yang dianggap atau dituduh telah menghina agama mereka.
Sejak awal, sebelum semuanya itu dilakukan secara intensif, saya pribadi sudah pesimis mengenai efektivitas tindakan-tindakan tersebut.
Sejak SMU saya sudah tertarik melihat gerakan kelompok-kelompok macam itu; yang pada zaman Suharto lebih banyak bungkam, tinggal tenang dalam 'kandang' masing-masing. Sekarang, setelah punya peluang dan kesempatan untuk menggerakkan massa, tiba-tiba jadi macan tumbuh taring. Suharto dan OrBanya adalah kambing hitam yang empuk dan nikmat untuk dihujat dan dipersalahkan, serta dijadikan alasan atas tindakan ekstrim macam aksi pembakaran dan penjarahan sampai terorisme.

Dulu, saya mengira dogma agamanyalah yang membenarkan tindakan-tindakan macam itu. Tapi setelah saya belajar sedikit tentang apa yang tertulis dalam kitab suci mereka, saya menarik asumsi baru: ajaran agama mereka sebenarnya tidak membenarkan apa yang mereka lakukan.
Saya menarik nafas lega ketika mendapatkan asumsi ini.
Sebab saya termasuk orang yang cukup universalis dalam hal agama-agama besar dunia, artinya: saya meyakini ada nilai-nilai moral, cinta dan perdamaian yang kental dalam setiap ajaran agama-agama besar dunia yang ada.
Implikasinya (yang semestinya berlaku): penganut-penganut yang belajar menghidupi nilai-nilai luhur dari moralitas, kecintaan dan perdamaian yang merupakan keutamaan jiwa dari agama yang dianutnya.

Tidak seperti sekelompok orang yang cenderung anarkis, tapi terus saja merasa diri benar. Saya ngeri membayangkan 'Allah' seperti apa yang mereka 'bela'.
Sebab bila Dia adalah 'true God', maka jelas dalam kemahakuasaan-Nya, Ia tidak senang ada makhluk ciptaan macam manusia yang 'berani-berani'nya memakai nama-Nya untuk melakukan tindakan yang tidak beda dengan preman. Apa pun alasannya. Apa pun motifnya. Dan tentu saja bukan atas motif keagamaan yang sejati.
Sebab keagamaan yang sejati itu akan menampakkan pribadi-pribadi yang santun, ramah, pembawa damai; bukan tampang-tampang beringas yang berteriak-teriak atas nama agama, padahal sesungguhnya yang terjadi adalah pelampiasan emosi dan kemarahan diri sendiri semata.

Saya mengagumi seorang kyai yang menurut saya sudah belajar baik-baik mengenai agamanya, yang berujar, "Berjihad sesungguhnya adalah berperang melawan hawa nafsu diri sendiri ..." (note: beliau bukan Aa Gym, yang mengawali ministry ala Manajemen Qolbunya dengan memperkenalkan ajaran Islam yang kental semangat true religiousity, namun belakangan sayangnya menerapkan poligami, meski tidak dilarang sepenuhnya dalam ajaran agamanya).
Duh, itu pernyataan yang jelas-jelas mencerminkan apa yang memang tertera dalam kitab sucinya. Bukan jalan pedang, yang membuat kita yang hidup di zaman modern ini kembali ke jaman Jahiliyah, ke peradaban yang masih liar. Atau kalo masih juga ingin 'liar', mbok ya jangan meniru peradaban tempo doeloe macam Jahiliyah gitu. Kreatif dikitlah ... yang bernuansa modern, yang kontekstual untuk jaman ini.

Kembali ke kontradiksi yang terjadi di Indonesia, saya pribadi melihat justru semakin 'ganas' kelompok-kelompok yang mengatas namakan agama untuk 'memberantas' apa yang mereka tuding sebagai maksiat, justru yang terjadi adalah berkembangnya sang maksiat.
Tadinya saya ingin berteman dan bertanya pada dua-tiga orang dari kelompok religius macam itu, "Apakah Bapak-bapak ini sudah bebas sepenuhnya dari apa yang Bapak-bapak tuduhkan?" (Jelas saya nggak berani, wong galak-galak begitu, wong mereka kebanyakan orang-orang yang tidak bisa diajak bicara baik-baik, yang rasanya kok lebih emosional dan mencintai jalur kekerasan, jalan pedang, ketimbang dengan kepala dingin dan hati bening mau diajak bicara baik-baik).
Tapi maksiat yang saya lebih takutkan bukan cafe-cafe, bukan lokalisasi, bukan tempat-tempat perjudian, bukan goyangan penggoda birahi.
Maksiat yang lebih menakutkan justru dosa yang terus dipendam dalam diri sendiri, yang ditolerir dalam mentalitas permisif terhadap diri sendiri, tapi sangat tegas dan anarkis pada orang lain.

Kira-kira, kalo saya dapat kesempatan untuk berbincang-bincang dengan kelompok religius yang giat 'membela agama' ini melalui aksi-aksinya (yang cenderung anarkis), tentu saja dengan pengawalan yang ketat dan ketetapan hati untuk mati konyol, maka saya akan mengusulkan beberapa hal, yang bukan melulu berasal dari hasil pengamatan dan pandangan saya, tapi juga dari pemikiran-pemikiran tokoh-tokoh yang benar-benar baik dan beriman dengan hati dan akal budi, bukan dengan emosi belaka.(bersambung)

Labels:

0 Comments:

Post a Comment

<< Home