18 May 2008

DARI ANJING KEPADA IMAN

Anjing;
percayakah kau kalau itu yang Dia katakan untuk menyebut diriku, kaumku?
aku, waktu itu, sudah capek … letih … putus asa …
anakku perempuan sedang mengerang kala itu,
ia terlempar, menggigil, menjerit, mulutnya keluar busa, menjambak dirinya sendiri, menggelepar-gelepar, menjerit lagi, mencakar-cakar sekujur tubuhnya, … terus begitu;

harapanku tinggal Lelaki dari Galilea itu …
yang siang itu menerimaku dengan sikap diam,
mendengarkanku memohon-mohon dengan bergeming.
Diam.
Sampai aku terpaksa merangkak lebih dekat lagi,
mengais ke ujung jari kaki Lelaki dari Galilea itu
dan ini yang kudengar, langsung dari mulut Lelaki itu,
perhatikan, oh perhatikan:
“Biarlah anak-anak kenyang dahulu, sebab tidak patut mengambil roti yang disediakan bagi anak-anak dan melemparkannya kepada anjing.”

Tahukah kau,
aku tidak membiarkan kesempatan lalu,
aku menyambar sapaan ‘anjing’ itu, aku melahapnya langsung—mengabaikan rasa pedih, harga diri
demi cinta pada gadis kecilku yang saat ini masih menderita …
aku suarakan kesediaanku—sebagai ‘anjing’—untuk mengangakan mulutku,
meraup rakus remah-remah sekecil apa pun,
demi buah hatiku yang sengsara …

dengan bibir bergetar aku menyahut Dia:
“Benar, Tuan. Tetapi anjing yang di bawah meja juga makan remah-remah yang dijatuhkan anak-anak.”
[Benar itu, Tuan. Anjing macam kami memang tidak makan roti itu,
tapi masakan remah yang dilempar tanpa harga itu tidak boleh kami sambut?
anak-anak yang Tuan maksud itu bukankah orang-orang bebal yang durja, yang menghinakan Tuan, menolak Tuan …
yang melempar roti mereka ke jalan,
sehingga Tuan bisa memberinya kepada anjing lapar macam kami.]

selepas jawabku itu, aku tidak bisa lupa mata-Nya
aku dapati seberkah senyum,
sesaat ada sebulir telaga bergetar di dalam pelupuk-Nya;
aku mengerti saat itu juga,
cinta-Nya besar untuk ‘anjing’ macam aku … kala itu kehangatan-Nya menerpa menyelubungi segala gundahku,
aku tidak lagi minta apa-apa,
tatkala Lelaki dari Galilea itu menyapaku lembut dan bahagia:
“Hai ibu [ibu! Bukan lagi ‘anjing’!], besar imanmu [iman? Yah, mungkin nekatku karna cinta pada gadis cilikku itu namanya iman … mungkin kepercayaan terakhir yang kulabuhkan pada diri Lelaki yang mengajar bak rabi agung ini adalah iman ….], maka jadilah kepadamu seperti yang kaukehendaki [apa yang aku minta terkabul … karena, apa itu tadi, iman?]

Siang itu, aku belajar satu hal dari perjumpaan dengan Lelaki dari Galilea itu;
aku bertemu Guru Agung, Tabib Ajaib, Rabi Sejati
aku terima sentuhan ajaib dari luapan cinta yang tak terperi;
siang itu, aku pulang bukan hanya seperti seorang ibu yang dapatkan putrinya kembali, sebab aku berjejak ke rumah sebagai seorang yang mengenal seperti apa Allah itu sebenarnya.

Labels:

0 Comments:

Post a Comment

<< Home