14 January 2009

"Aku pergi berdasarkan kehendak bebas
dengan berkat ketaatan." (Mother Teresa)

·········Meskipun Mother Teresa merasakan panggilan yang kuat untuk melayani kalangan miskin dan "terbuang" di India, ia mengakui bahwa pilihan untuk taat itu ada ditangannya Itu berarti kesediaannya untuk taat adalah keputusannya, berdasarkan kehendak bebasnya. Meskipun pilihan untuk taat pada panggilan yang ia terima semata diambilnya berdasarkan kesadaran dan kerelaan dari kehendak bebasnya, Mother Teresa menyadari bahwa kemampuannya untuk taat itu adalah sebuah berkat. Dengan kata lain, bisa saja ia memilih untuk tidak taat dan membungkam panggilan itu, dan meneruskan pelayanan yang selama ini sudah ia lakukan. Toh sama-sama melayani Kristus.


·········Ketaatan adalah berkat yang dikaruniakan Tuhan baginya. Saya tercenung ketika menyadari itu dibalik kata-kata Mother Teresa. Saya diperhadapkan pada kenyataan bahwa ketika saya mampu menangkap panggilan dan bersedia menjalaninya, kemampuan untuk bersedia itu bukan semata-mata berasal dari diri atau kekuatan saya sendiri. Ada anugrah yang bekerja di situ. Ada berkat, yakni kesediaan untuk taat, yang Allah berikan padaku.


·········Kesadaran itulah yang akhirnya membuat saya mengerti, mengapa orang yang sudah melakukan ketaatan selalu dipenuhi rasa syukur pada Allah. Orang yang memiliki ketaatan sejati selalu menemukan bahwa dibalik "kemampuan"nya untuk taat itu ada berkat, yakni "kemampuan" itu sendiri. Jadi, kalau saya bisa taat pada kehendak Allah, itu adalah berkat. Bukan karena saya hebat atau mampu.


·········Disini jugalah saya memahami predestinasi ketaatan--dimana Allah menentukan siapa yang dikehendakinya menerima berkat ketaatan. Bila ketaatan itu semata-mata berdasarkan kehendak (bebas) saya, maka yang sangat mungkin terjadi adalah, saya tidak akan pernah taat. Mengapa? Karena natur berdosa yang ada dalam diri saya membuat saya cenderung memilih tidak taat ketimbang taat, lebih memilih hal yang memuaskan/menyenangkan ego saya ketimbang menyenangkan hati Tuhan. Pada akhirnya, yang saya butuhkan (baca: mohonkan) dari Allah adalah berkat ketaatan.


Ini jugalah yang akhirnya membuat saya bisa ber"ooooh" mengerti sebuah doa--yang dulu saya tertawakan--yang berbunyi, "Tuhan, berikan aku ketaatan ...."


13 January 2009

Refleksi "Mother Teresa: Come Be My Light" (1)

"Letakkan tanganmu dalam tangan-Nya, dan
berjalanlah hanya bersama-Nya."


[Ini adalah kata perpisahan dari sang ibu kepada Gonxha Agnes Bojaxhiu, 18 tahun, sewaktu Gonxha meninggalkan rumahnya untuk menjadi seorang misionaris. Pesan itu pula yang menghantar tekad gadis itu, yang kelak dikenal sebagai Bunda Teresa, untuk mengiring Kristus sebagai mempelai-Nya yang setia.]

Saya tidak iri dengan Stephen Tong--meski beliau seorang yang sangat bertalenta. Saya tidak iri dengan Billy Graham--meski beliau seorang penginjil yang mendunia. Saya pun tidak iri dengan para pengkotbah KKR besar--yang laris dan dipuja banyak umat, selain bertarif tinggi. Satu-satunya pribadi yang membuat saya begitu iri (baca: mendamba untuk bisa menjadi seperti dirinya) adalah Bunda Teresa, pendiri Ordo Cinta Kasih. Beliau seorang yang melihat dan merasakan dengan begitu jelas pada panggilan Kristus baginya. Hidup beliau membuktikan betapa beliau telah "meletakkan tangannya dalam tangan Kristus, dan berjalan hanya bersama-Nya."

Tidak seperti saya, yang meski merasakan panggilan-Nya, namun tidak memiliki keluasan dan kedalaman hati seperti Bunda Teresa. Pesan sang ibu, saya pribadi yakin, adalah sesuatu yang terus menggema dalam hati dan benak Gonxha. Dan kelak, pesan itu--meski dengan tertatih-tatih--menggema dalam benak saya. Belum sampai dalam hati, karena saya mendapati diri saya masih gemar menikmati kesenangan dunia. Saya belum dapat sepenuhnya "meletakkan tanganku dalam tangan Kristus, dan berjalan hanya bersama-Nya." Saya memang memegang tangan Kristus, tapi saya cenderung berjalan bersama dunia juga. Saya masih seperti seorang anak yang dituntun sang bapa, tapi perhatiannya sepenuhnya pada keramaian dan kesenangan yang bertebaran di pasar malam. Setiap saat genggaman itu bisa saya lepas--dan Dia harus terus berusaha mempertahankan agar saya tidak lenyap di tengah kerumunan pasar malam duniawi (note: istilah ini dipinjam dari "Pilgrim Progress"nya John Bunyan).

Dalam menjalani apa yang sering saya umbar sebagai "menjalani panggilan" (sejatinya hanya Tuhan yang tahu), saya memegang tangan Kristus tampaknya lebih pada kebutuhan, daripada atas dasar kepercayaan.
Bukan seperti yang menjadi pesan sekaligus doa ibu dari Gonxha Bojaxhiu, yang saya pahami sebagai "penyerahan diri sepenuhnya, dengan melepaskan segala sesuatu, dan menaruh segalanya dalam tangan Kristus Tuhan semata." Dengan malu, saya mengakui bahwa ibu dari Bunda Teresa jauh lebih beriman daripada saya. Meski ia tidak "menerima panggilan" dan menjalani pendidikan teologi seperti saya, tapi ia lebih bersandar pada Kristus. Okelah saya bisa menyampaikan kata-kata mutiara yang indah, tapi tak akan pernah menyamai kedalaman dan iman dari pesan sang ibu itu. Saya ingin dialah yang memeluk saya dan membisikan pesan itu di telinga saya, di benak saya, dan di hati saya. Itu sebabnya, sadar bahwa hanya ini yang bisa saya wujudkan, saya menjadikan pesan itu sebagai pesan penghantar saya juga.

Meletakkan tangan dalam tangan Kristus mungkin mudah, tapi berjalan hanya dengan-Nya itu jauh lebih sulit.
Saya masih suka menggenggam "mainan" saya: laptop, game, hobi/kesenangan, hiburan. Saya malah masih membiarkan hal-hal lain mengikuti saya--seperti seorang bocah kecil yang merasa lebih nyaman dengan boneka bututnya daripada pegangan tangan sang bapa. Bocah kecil yang akan menangis kehilangan bila boneka mainan itu tertinggal bahkan hilang, tapi tidak peduli dan tidak menyadari bilamana ia sudah tidak lagi dalam tuntunan tangan bapanya. Saya mungkin memang berjalan bersama Kristus, tapi bukan bersama Dia sebenarnya saya berjalan, melainkan bersama segala kesenangan dan milik. Persis seperti seorang remaja yang menaruh hidupnya pada handphone--sehingga tanpa itu hidup akan berakhir. Persis seperti seorang muda yang menggantungkan jiwanya pada seorang kekasih--sehingga ketika kekasih itu meninggalkannya, hidup sudah tidak ada arti lagi. Persis seperti seorang kaya yang menimbun harta & meletakkan jiwa dan hidupnya di situ--sehingga ketika perampokan atau kebangkrutan menerpa, hidup pun sudah tidak berguna lagi.

Kata-kata pesan dar seorang ibu yang saleh itu seperti gema dari rintihan kerinduan Kristus sendiri bagiku: "Letakkan tanganmu dalam tangan-Ku, dan berjalanlah hanya bersama-Ku."!

Labels: