16 August 2008

MERDEKA, BUKAN UNTUK “MENJAJAH”

Dalam memperingati 63 tahun kemerdekaan RI dan 10 tahun lebih era reformasi (secara politis, bukan secara mental), ada baiknya kita merenungkan arti kemerdekaan dan realitas kehidupan bangsa ini dalam mengisinya.

Kita mengawal kemerdekaan nusantara tercinta ini dengan semangat untuk membangun. Meskipun mandat pembangunan ini dilaksanakan oleh seorang Soeharto—yang pasca Orde Baru, atau di masa reformasi laris untuk dihujat—yang nota bene banyak kelemahan, namun sejujurnya semangat pembangunan yang telah dijalankan di bawah pemerintahan beliau itu nampak sekali keberadaannya.

Semangat pembangunan itu sekarang, di era reformasi yang sukses menggulingkan Soeharto, nyaris hanya sekedar wacana yang muncrat secara berkala (pada saat-saat kampanye saja) di bibir para politikus kita yang very very opportunist.
Para politikus negeri ini hanya sibuk mencela, mengritik; tanpa mampu menunjukkan andil yang signifikan bagi pembangunan negeri ini.

Ketimbang mendukung suasana kesatuan, sekelompok agamais lebih sibuk untuk menjadikan negara kesatuan ini menjadi negara agamais. Apa bedanya semangat menjadikan negeri ini sebuah negara agamais dengan semangat komunis yang pernah ingin menjadikan negeri ini komunis? Sebab upaya-upaya yang dilakukan pun mirip: propaganda yang disisipi unsur menghina dan menyingkirkan penganut lain, tindakan teror dan anarkis, pemaksaan keyakinan dengan cara halus sampai kasar.

Panggilan kita dalam era kemerdekaan nusantara tercinta ini adalah panggilan membangun, panggilan mengisinya dengan sumbangsih nyata bagi kepentingan bangsa. Bukan dengan semangat kelompok tertentu yang telah dibutakan oleh ideologi dan fanatisme semata, sehingga mengabaikan nilai dan jiwa bangsa ini yang multi-kultur. Ketika Tuhan mengijinkan keragaman menjadi kekayaan Indonesia, tentu Dia tidak bermaksud kemudian memakai tangan sekelompok orang untuk membungkam keragaman itu di bawah satu bendera yang sektarian sifatnya. Bendera kita jelas: merah putih, bukan hijau atau kuning. Ideologi kita jelas: Pancasila, bukan syariat agama tertentu. Bentuk negara pun jelas: kesatuan republik, bukan agamais.

Meski saya Kristen, tidak pernah sedikit pun terbersit di benak saya untuk menjadikan negeri ini negara Kristen. Negara adalah negara, agama adalah agama. Semangat bernegara memang harus berlandaskan kehidupan beragama yang baik. Tapi itu jelas harus dibedakan dengan mencampur negara dengan agama.

Iman Kristen saya menghormati pemerintah yang dipilih Tuhan melalui suara rakyat. Iman Kristen saya semestinya membuat saya hidup lebih berarti, dan salah satu arti yang wajib saya lakukan adalah memberi sumbangsih bagi bangsa saya. Iman Kristen saya sepatutnya menjadi pendorong saya untuk menjadi warga negara yang baik bagi bangsa saya.

Iman Kristen saya tidak boleh kemudian menjadi ambisi untuk “menjajah” sesama saya di negeri ini dengan ambisi menjadikan negeri ini negeri Kristen. Semangat negeri ini memang harus Kristiani, tapi itu berbeda dengan memaksakan kepercayaan agama Kristen menjadi penguasa negeri ini. Kemerdekaan, baik secara bangsa (dari tangan penjajah) maupun jiwa (dari belenggu dosa), sepatutnya diisi dengan semangat pembaharuan. Di isi dengan semangat membangun kembali apa yang dulu pernah terjajah dan rusak. Bukan malah dilanjutkan dengan semangat menjajah dalam bentuk baru.
Sebab kemerdekaan kita tidaklah dimaksudkan untuk menjajah!

Labels:

11 August 2008

AKTIF DI GEREJA = KRISTEN ???

Pailul adalah seorang pemuda yang punya ambisi pengin jadi tentara. Sebab sejak kecil, ia mengagumi seragam dan senjata tentara yang membuat mereka tampak gagah en keren. Itu sebabnya, ketika suatu hari ia berhasil membeli seperangkat seragam tentara aspal (asli, tapi palsu) di pasar, ia bahagia sekali.

Setiap hari seragam itu ia pakai, dan dengan bangga ia memamerkannya pada seisi kampung. Mula-mula para teman dan tetangganya ikut senang melihat Pailul menjadi begitu gembira. Namun lambat laun, mereka justru menjadi kasihan pada Pailul. Sebab Pailul mulai menjadi tidak "normal" lagi secara kejiwaan. Terobsesi gila-gilaan dengan ambisi menjadi tentara, Pailul terjebak pada halusinasi bahwa dengan memakai seragam tentara dan menenteng senapan mainan dari plastik, maka ia sudah menjadi seorang tentara. Pailul tidak menyadari atau mungkin sengaja mengabaikan kenyataan bahwa mengenakan seragam tentara saja belum bisa membuatnya menjadi seorang tentara sebenarnya. Sebab ia harus ikut ujian masuk pendidikan militer, harus ikut pelatihan militer, dan setelah lulus harus terlibat aktif dalam tugas-tugas ketentaraan.

Gejala ala Pailul ini bisa saja menerpa orang-orang "Kristen." Ada orang-orang tertentu yang saking tergugahnya oleh KKR atau acara-acara Kristiani yang "dahsyat, luar biasa," lantas ramai-ramai memakai "seragam" Kristen. "Seragam" Kristen itu adalah: datang ke gereja, ikut pelayanan sana-sini dsb. Karena sudah aktif di gereja, maka tentu saja orang-orang ini Kristen, bukan? Jawabnya: keliru sekali. Lho, kok keliru? Karena pergi ke gereja dan melakukan pelayanan Kristen bukan jaminan seseorang itu jadi Kristen. Sebab Kristen yang sejati adalah harus bertobat dari dosa, menerima dan beriman pada Tuhan Yesus, lalu selanjutnya hidup menaati firman-Nya.

Kalau hanya dengan rajin ke gereja dan aktif pelayanan di sana sudah membuat seseorang disebut Kristen, lantas apa bedanya dengan koster gereja yang setiap hari ada di gereja--bahkan ada yang tinggal di gereja--dan setiap hari giat melayani (membersihkan) gedung gereja? Bukankah kalo rajin dan aktifnya di gereja menjadi tolak ukur Kristen tidaknya seseorang, maka koster gereja adalah orang yang paling Kristen, kan? Malah pendeta dan majelis saja kalah ... sebab mereka tidak sesering sang koster untuk berada di gereja--kecuali kalau pendetanya memang tinggal di dalam gereja.

Itu sebabnya ketika suatu hari seorang perempuan mengatakan bahwa ibu Yesus adalah orang paling bahagia karena punya "anak" yang hebat, Yesus malah menjawab: "Yang berbahagia ialah mereka yang mendengarkan firman Allah dan yang memelharanya." (Luk 11:28). Kebahagiaan Maria bukanlah karena mengandung dan melahirkan Yesus, tapi karena ia taat pada firman Allah. Kebahagiaan kita bukan karena menjadi Kristen dan dibaptis, melainkan karena hidup taat pada firman Allah. Sama, bukan, dengan Pailul, yang baru bisa dibilang bahagia kalau ia memang benar-benar menjadi tentara, dan bukan sekedar memakai atribut tentara?

Labels: