28 May 2007

TUHAN = ….

“TUHAN adalah gembalaku” (Mazmur 23:1a)


Penilaian kita pada sesuatu atau seseorang ditentukan sekali dengan pengalaman kita dengan sesuatu atau seseorang itu.
Kalau kita punya figur papa yang galak dan menakutkan, lantas ketika di sekolah ada teman kita yang bilang begini tentang pak guru yang lemah lembut, “Eh, Pak guru itu seperti papa kita ya?” maka kita akan bereaksi, “Ah, nggak! Beda! Pak guru itu tidak seperti papa saya!” Pengalaman saya dengan seorang papa yang galak dan menakutkan, membuat saya tidak sudi menyamakan pak guru saya yang lemah lembut itu dengan papa saya. Kualitas mereka berdua berbeda.
Sekali lagi, penilaian kita pada sesuatu/seseorang ditentukan sekali dengan pengalamana kita dengannya.

Ketika Daud menyebut TUHAN sebagai “gembalaku”, maka kita bisa menyimpulkan bahwa dulu sewaktu ia masih menjadi seorang gembala, ia adalah gembala yang bertanggung jawab. Ia adalah gembala yang benar-benar menggembalakan dengan baik dan bertanggung jawab semua kambing-domba yang dipercayakan untuk dijaga dan dipeliharanya.
Sebab kalau Daud dulu adalah gembala yang tidak bertanggung jawab, yang lebih suka lari meninggalkan kawanan dombanya ketika seekor binatang buas mendekat, maka jelas ia tidak akan sudi memandang TUHAN dalam gambaran gembala. Kan gawat kalo punya TUHAN yang lari begitu saja meninggalkan kita ketika kita terancam bahaya!
Uraian Daud dalam Mazmur 23 mengenai gambaran TUHAN sebagai gembala, saya yakin merupakan proyeksinya terhadap pengalamannya sendiri sewaktu masih seorang gembala. Ia rupanya suka melihat kepada domba kesayangannya, dan diam-diam iri dengan domba itu karena bisa menikmati pemeliharaan yang begitu baik darinya. Sekarang, Daud sedang merefleksikan dirinya dengan menempatkan dirinya di tempat sang domba kesayangan itu; dan menempatkan TUHANnya dalam gambaran gembala yang baik, yang bertanggung jawab.

Ketika merenungkan itu, saya diam-diam membisikkan doa, “TUHAN, kalau saya beroleh kesempatan menjadi seorang suami, tolong saya menjadi seorang suami yang selalu setia dan mencintai istri saya, supaya ketika istri saya mengingat saya yang selalu setia dan mencintainya ini, ia bisa melihat gambaran Engkau yang jauh lebih setia dan mencintainya. Kalau saya beroleh kesempatan menjadi seorang ayah, saya berharap menjadi seorang ayah yang menyayangi anak dan mendidiknya dengan baik, sehingga ketika anak saya mengingat saya yang menyayangi dan mendidiknya dengan baik, ia bisa melihat gambaran Engkau yang jauh lebih sayang dan lebih sempurna dalam mendidik dirinya.”

Labels:

KENIKMATAN KOPI DAN KASIH KARUNIA

“Tetapi hukum Taurat ditambahkan, supaya pelanggaran menjadi semakin banyak;
dan di mana dosa bertambah banyak, di sana kasih karunia menjadi berlimpah-limpah.”
(Roma 5:20)


Kita baru dapat menikmati hal yang baik bila kita harus mengalami hal yang buruk. Kita dapat lebih menghargai sesuatu yang mulia setelah kita harus berhadapan dan disusahkan dengan sesuatu yang cemar atau menjijikkan.
Di banyak hal dalam hidup kita, hal yang tidak baik bisa berguna untuk membuat kita memahami dan menghargai hal yang baik.

Masalahnya, kita baru bisa menikmati hal yang baik itu dan dianggap menghargainya bila kita menaati dan mengikuti seperangkat aturan main, yang tentu saja ruwet dan sangat merepotkan.

Dulu, ketika saya belum bisa menikmati cara menyeduh kopi dan menikmatinya, saya hanya minum minuman berwarna hitam pekat itu begitu saja. Hanya tahu, kalo mau lebih manis, ya tambah gula. Mau lebih kental rasa kopinya, ya bubuk kopinya ditambah sebelum diseduh air panas.

Setelah memiliki teman (-teman) yang tahu seni menyeduh kopi dan menikmatinya, saya mulai melihat seni dalam meminum kopi.
Kalau dulu dalam gelas saya langsung campur kopi dan gula, baru diseduh air panas, maka sekarang saya menyeduh kopi dengan cara yang berbeda. Bubuk kopi dimasukkan, diseduh air panas, diaduk sebentar, baru dimasukkan gula secukupnya. Gula tidak lagi dicampur dahulu, supaya kopi larut lebih dahulu untuk mengeluarkan tastenya.

Dulu, pakai air termos yang sudah berjam-jam sehingga panas airnya sudah tidak semendidih ketika baru dituang dari teko masak, itu bukan masalah. Sekarang, pakai air panas dari dispenser saja terkadang rasanya kurang afdol, karena kualitas kopi tidak keluar secara maksimal (karena butuh air yang mendidih, lebih baik dimasak matang langsung); tapi mau gimana lagi, lha selama di asrama gak gampang dapat air mendidih yang baru diangkat dari kompor.

Dulu, setelah secangkir kopi panas yang masih mengepul langsung di’glek’ (pelan-pelan sih, soalnya masih panas sekali, khan bisa melepuh tuh mulut) seperti menenggak air minum biasa. Sekarang, minumnya lebih ‘nyeni’, diseruput pelan-pelan. Kalau perlu disertai decakan lidah dan desahan nikmat, “Aaaahhh” supaya lebih menegaskan kalau sedang menikmati citarasa dari kopi tersebut.

Dulu, nggak peduli itu kopi jenis apa. Sekarang, harus tahu ini kopi jenis apa: robusta atau arabika. Harus bisa teliti membedakan citarasa: kopi Medan jelas beda dengan kopi Papua (sama-sama jenis kopi ‘keras’ tapi kopi Medan lebih ‘menantang’ dibanding kopi Papua yang soal masamnya saudara kembar kopi Toraja—menurut saya lho), meski mungkin sama-sama dari klan robusta.; kopi Lampung jelas lebih maknyus daripada kopi Toraja yang rasa masamnya terasa sekali (sekali lagi: menurut saya lho). Meski belum jadi pakar kopi, tapi minimal bisa nyambung deh kalo ngobrol ngalor-ngidul soal ngopi.

Jadi, kalau dulu minum kopi adalah persoalan sepele, tinggal glek; maka sekarang dengan segala aturan yang rada rumit itu menikmati secangkir kopi adalah sebuah seni. Awalnya saya sebal dengan ‘gaya nyeni’ dalam menikmati kopi. Tapi, karena memaksa diri untuk menyesuaikan dan menyadari bahwa segala aturan ruwet itu perlu untuk bisa menghargai dan menikmati minuman kopi, lama-kelamaan saya terbiasa untuk ‘mematuhi’ ritual ruwet itu. Eh, kok ya sekarang sudah gak terasa ruwet lagi, sudah ‘menyatu’ dengan gaya hidup.

Dari pengalaman tentang ngopi di atas, saya memahami maksud rasul Paulus dalam ayat yang dikutip di atas. Sama seperti ngopi itu baru nikmat kalau kita tahu bahwa dibalik keruwetan aturan membuat minuman kopi, ada hal nikmat yang muncul. Aturan yang ruwet itu tidak boleh dibiarkan menjadi tujuan, tapi sarana yang mengarahkan kita untuk sampai pada satu hal dan menyadarinya: citarasa kopi yang sejati. Citarasa itu sudah ada sebenarnya, tapi baru terasa bila diolah dengan cara yang benar, bukan asal-asalan; butuh seperangkat cara, banyak kemungkinan gagal menikmatinya, tapi justru disitu letak daya menikmati dan kenikmatan citarasa muncul.

Tapi saya akan simpulkan untuk mengakhiri artikel ini (karena harus ada bagian yang bicara selaras dengan kutipan di atas): bahwa semakin banyak hukum (Taurat) yang harus dipatuhi untuk menjaga kekudusan dan tidak berbuat dosa, maka kita akan semakin menyadari betapa tidak berdayanya kita untuk tidak berdosa. Kesadaran akan ketidak berdayaan diri kita untuk tidak berdosa dan ketidak mungkinan membuat diri kita layak diampuni, menyebabkan kita jauh lebih mengerti dan mensyukuri kasih karunia Allah: pengampunan dalam iman kepada Tuhan Yesus yang telah menjadi Penebus kita dari tuntutan hukuman dosa!
Kasih karunia itu baru ‘nikmat’ kalau kita tahu bahwa itu semata anugrah, bukan hasil kerja keras kita menaati hukum Allah.

Ijinkan saya menutup ini dengan ‘membaca’ nats di atas dalam bahasa yang disesuaikan sedikit, “Tetapi aturan mengenal dan menyeduh kopi ditambahkan, supaya kegagalan untuk menikmati kopi yang sejati semakin banyak; dan di mana cara gagal untuk menikmati kopi bertambah banyak, di sana kenikmatan secangkir kopi menjadi semakin berharga untuk dinikmati.”

Labels:

23 May 2007

KRISTEN BISA BUNUH DIRI?

Kemarin, salah seorang teman saya di asrama mengajukan sebuah topik, yang ia ingin saya tanggapi.
Rencananya topik itu akan dijadikan tema skripsinya kelak. Wah, saya senang ada rekan yang jauh-jauh hari sudah mau memikirkan itu. Karena itu berarti ia merencanakan dan mempersiapkan dengan baik, tidak seperti beberapa rekan yang saking menjiwai mental 'last minute,' sampai cari topik skripsi aja mepet banget, pas udah dituntut presentasi proposal skripsi baru memikirkannya.

Kembali ke teman saya yang minta tanggapan itu, ia dengan antusias memaparkan kalo ia ingin membahas bagaimana orang (Kristen) yang bunuh diri itu 'masih bisa' masuk surga. Dengan argumen: Bukankah sekali diselamatkan, tetap selamat? Bukankah keselamatan yang dianugrahkan Allah itu tidak dapat hilang?
Saya menanggapinya--sesuai permintaannya--dengan menegaskan bahwa orang yang telah menerima anugrah keselamatan kekal dari Allah tidak mungkin bunuh diri. Tentu saja saya 'menguras' seluruh argumen yang saya tahu untuk mendukung tanggapan saya itu.

Di balik 'ngotot'nya saya menanggapi topik yang diajukan teman saya itu, diam-diam saya 'dipaksa' memikirkan: apa betul orang Kristen yang bunuh diri masih mungkin masuk surga?
Saya diam sejenak, membiarkan indra wicara saya bungkam sesaat--entah karena terlalu capek beragumen, atau memang menyadari butuh waktu sesaat untuk tenang dan berkesempatan memikirkan ulang baik-baik argumen dan pemikiran saya, serta coba langkah positif untuk mundur, untuk coba melihat dari sisi lain segi yang benar dari topik teman saya itu.

Waktu itu yang pertama terlintas--setelah momen diam yang singkat itu--dalam benak saya adalah pertanyaan: apa bisa orang Kristen yang sungguh-sungguh beriman bisa melakukan tindak bunuh diri?
Kalau memang pernah terlintas dalam benak mau bunuh diri saja, karena disebabkan tekanan hidup yang begitu berat dan sudah hampir gelap mata karena tidak melihat celah sedikit pun untuk keluar dari tekanan yang semakin menghimpit, saya rasa sih bisa saja. Tapi toh itu cuma berhenti saja pada lintasan pikiran, dan secara iman akan buru-buru ditepis karena kesadaran bahwa itu dosa.

Saya mencerna ulang argumen saya sendiri, yang keluar begitu saja--di mana saya memaksa diri saya mengakui bahwa argumen itu adalah 'anugrah'; sesuatu yang saya ketahui karena dikaruniakan dalam benak saya.
Salah satu argumen saya, yang paling mengganggu pemikiran dan membuat saya sedikit bergumul untuk sepenuhnya meyakininya ialah: bahwa seorang yang sungguh beriman kepada Tuhan dan hidupnya telah diubahkan, ia semakin hari akan semakin menjauhi dosa karena ia terus bertumbuh, terus naik semakin mendekati kesempurnaan penuh yang dirindukan Tuhan yang mengasihinya dan memeliharanya. Itu berarti kalau dulu, sebelum mengenal Tuhan, ia punya kemungkinan besar berpikir untuk bunuh diri ketika menghadapi tekanan hidup yang berat. Maka seiring waktu dan pertumbuhan iman yang terjadi, kemungkinan berpikir ke arah itu sudah semakin kabur. Lambat laun bahkan istilah 'bunuh diri' sangat mungkin sudah tidak terdapat lagi dalam kamus kehidupannya.

Apa yang saya kemukakan itu sebenarnya pengalaman pribadi saya sendiri.
Dulu, waktu mengawali hidup dalam iman kepada Kristus Tuhan, setiap kali hidup terasa sesak, saya satu-dua kali berpikir untuk mati saja. Kan dengan begitu semua persoalan langsung lenyap, blas, plong. Seiring perjalanan waktu dan melewati selangkah demi selangkah mengalami hidup dan pembentukan iman, pikiran semacam itu nyaris tak terdengar lagi dalam benak saya. Bagi saya, hidup ini berharga untuk dijalani. Kalau toh harus mati, itu urusan Dia; itu hak Tuhan. Bukankah hidup saya ini milik-Nya? Saya kan tidak pernah mencipta diri saya sendiri dan membentuk roh saya sendiri? Minimal sekarang saya cukup tahu diri, bahwa sebagai ciptaan, diri saya adalah kepunyaan Yang Mencipta saya. Bahwa merupakan hal yang sangat bodoh dan tidak tahu diri kalau sebagai ciptaan saya berkelakuan seolah-olah 'pencipta' yang lantas 'menguasai' dan 'memiliki sepenuhnya' diri saya sendiri.

Lalu, gimana kalau ternyata ada orang yang (katanya) sudah sungguh-sungguh beriman pada Tuhan, eh lantas bunuh diri?
Secara Kristen, saya diajar bahwa hal pertama yang perlu ditanya: apa benar ia seorang yang sudah sungguh-sungguh beriman pada Tuhan? Bukankah seringkali kita terjebak untuk keliru memiliki parameter ukuran kesungguhan iman seseorang, yang biasanya standarnya adalah aktivitas keagamaannya semata?
Pepatah manusia mengatakan: dalamnya laut bisa diukur, dalamnya hati siapa yang tahu.
Kitab Suci juga menegaskan betapa hati manusia itu begitu kompleks, sehingga apa yang terkandung di dalamnya seringkali tidak akan pernah diketahui orang lain. Itu sebabnya Allah sudah berujar: manusia melihat (terbatas hanya) apa yang di depan mata, tetapi Tuhan melihat (lebih dalam lagi dari yang mampu dilihat mata biasa, yaitu) hati.

Jadi: apakah seorang yang sudah percaya Tuhan bisa melakukan tindakan bunuh diri?
Saudara boleh simpulkan sendiri jawabannya dari 'celotehan' saya di atas.

Labels:

20 May 2007

BELAJAR MENDENGARKAN DENGAN NAIK ANGKOT

Sejak praktek weekend di Jombang, saya harus naik angkot dengan jarak tempuh terpanjang selama saya berada di Malang, yakni rute Kasin - terminal Landungsari.
Setiap kali saya mencegat angkot jurusan LG (Landungsari-Gadang), saya lebih sering naik angkot yang masih kosong daripada terisi penumpang. Jadilah, saya penumpang satu-satunya selama hampir separuh perjalanan ke terminal.

Awalnya, saya yang kebetulan lebih suka memilih duduk di depan--samping supir angkot--menikmati perjalanan itu dengan melamun atau menikmati apa yang bisa dilihat. Tapi beberapa waktu kemudian, saya iseng berbasa-basi dengan supir angkot bila dapat kesempatan duduk di depan. Hasilnya, saya 'terpaksa' mendengar curhat mereka. Kebanyakan mengeluhkan sepinya penumpang (tapi gak pernah sekalipun menyalahkan banyaknya armada angkot yang sejalur dengan mereka sebagai penyebab sepinya penumpang). Ada yang cerita panjang lebar mengenai Arema yang sedang bertanding (padahal saya gak terlalu suka sepakbola). Ada yang suka tanya-tanya tentang saya: di mana saya tinggal, trus begitu tahu saya bukan asli Malang tanya asal saya dari mana, kalo tahu saya mahasiswa pasti ditanya kuliah di mana ... dan seterusnya.
Namun yang lebih sering terjadi adalah, saya 'harus' mendengarkan mereka. Lumayan tidak mudah buat saya, sebab saya punya kecenderungan mendominasi pembicaraan ketimbang mengambil posisi sebagai pendengar yang setia ;)

Justru karena tidak mudah itu, saya 'malah' menikmatinya sebagai ajang pembelajaran untuk mendengarkan. Mulanya memang sulit, karena saya cenderung suka memotong dan ambil bagian untuk ikut ngomong (abis, ga tahan kalo terus-terusan mesti mendengar...).
Tapi lama-lama kok ya terbiasa. Hasilnya pun lumayan bagi saya: saya sudah lebih punya rentang konsentrasi mendengar lebih panjang. Kalo dulu mungkin cuma sanggup duduk tenang dan mendengarkan paling lama tiga menit, sekarang sudah bisa sampai lima menit (kecuali kalo sedang konseling, ya bisa tahan sampai lima belas menit, pernah sampai rekor dua puluh lima menit, pas dapet konseli yang rupanya masalahnya kompleks buanget; soalnya memang harus mendengarkan sih ... mosok konselor nyerocos, kan gak lucu donk).

Ternyata dengan naik angkot, saya bisa belajar mendengarkan!

Labels:

KACAMATA SIAPA YANG DIPAKAI?

Dalam gereja, ditengah persekutuan ibadahlah, kita rupanya bisa menguji dengan 'kacamata' siapa kita melihat sesama kita.
'Kesadaran' itu saya peroleh ketika suatu hari Minggu, saya sengaja datang lebih awal di sebuah gereja di Malang. Maksud awalnya sih supaya saya bisa menenangkan diri sebelum masuk ibadah. Tapi tak dinyana, kotbah belum dimulai, tapi saya sudah dapat 'berkat.'

Waktu itu, bangku-bangku dalam gedung gereja yang lumayan luas itu masih banyak yang kosong. Maklumlah, ibadah baru akan dimulai dua puluh menit lagi. Beberapa saat setelah saya selesai berdoa persiapan, seorang ibu masuk ke dalam ruangan gereja. Ia tidak sendiri. Ada seorang remaja yang digandengnya dengan erat. Ketika mereka berdua masuk dan mulai melangkah menuju deretan bangku di tengah ruangan kebaktian itu, saya menyadari sebagian besar pasang mata tertuju pada mereka. Pandangan-pandangan itu sebenarnya lebih ditujukan pada remaja itu daripada sang ibu. Bagaimana tidak menarik perhatian, bila kita harus melihat seorang remaja dengan anting yang berukuran lumayan besar dan berkilau di bawah sorotan lampu, serta sederet cincin yang tidak kalah menyoloknya di sebagian besar jemari remaja itu. Dan remaja itu, ini yang paling mengganggu, adalah seorang lelaki!

Beberapa orang mulai berbisik-bisik, membicarakan mereka berdua. Sementara orang yang sedang dibicarakan itu sudah mengambil tempat tiga deret di depan bangku yang saya duduki. Wah, saya semakin sulit untuk mengabaikan pemandangan ini. Apalagi menarik juga mengamati mereka berdua. Saya yakin, sang ibu bukannya tidak menyadari bahwa beberapa pengunjung kebaktian yang ada sedang berbisik-bisik mengenai mereka. Tetapi rupanya ia memutuskan untuk mengabaikan hal itu. Ia malah dengan tenang mendekatkan kepalanya ke arah sang remaja, berbicara dengan remaja itu dengan penuh sayang; hal mana terlihat dari cara ia menatap remaja yang duduk di sisinya itu.

Dibawah sorotan sebagian pengunjung lain, yang rupanya mewakili opini publik mengenai gaya remaja itu di dalam ruang ibadah, sang ibu tidak goyah. Saya mengira, mungkin kehadiran remaja itu dalam ibadah Minggu jauh lebih penting dari meributkan dan memperdebatkan penampilannya. Dari cara mereka berjalan memasuki gedung ibadah ini, sampai sikap mereka dalam menunggu ibadah dimulai, sama sekali tidak ada tanda-tanda bahwa sebelumnya telah terjadi 'pergumulan hebat' mengenai aksesoris yang bertebaran menyolok di tubuh remaja lelaki itu. Meski saya yakin, ibu itu tentu jauh lebih suka bila sang remaja berpenampilan lebih 'pantas' dari itu.

Sang ibu melihat remaja itu dari kacamata Tuhan, bukan kacamata kebanyakan orang 'baik-baik' di dalam gereja itu. Sebab bila berbicara mengenai penampilan dan kondisi yang layak untuk datang ke hadirat-Nya, maka saya sendiri harus menemukan diri saya sebenarnya tidak layak. Lalu, kalau sadari diri tidak layak, kok ya masih mau datang beribadah ke hadirat Tuhan? Jawabnya: karena Tuhan melayakkan saya dan lebih rindu melihat saya datang beribadah kepada-Nya. Okelah, saya orang yang masih melakukan dosa. Saya orang yang masih belum 'bersih.' Kalau kelayakan yang menjadi standar untuk boleh masuk gedung gereja dan mengikuti ibadah di sana, maka saya akan termasuk orang yang baru masuk gerbang gereja aja sudah dicekal satpam gereja, dan diusir keluar; supaya tidak 'mengotori' rumah ibadah.

Tapi untungnya, saya tidak pernah dicekal, meski sebenarnya tidak layak.
Dan yang lebih indah lagi: Tuhan selalu terima saya, bila saya rindu untuk berjumpa dengan-Nya, apa pun kondisi saya.

Ibu itu memandang sang remaja dengan kacamata Tuhan memandang kita.
Ia tidak membiarkan dirinya terjebak dalam cara pandang dari kacamata orang-orang 'saleh' yang mencibir pendosa yang mereka lihat. Ia menerima dan mengasihi remaja itu sebagaimana adanya, meski mungkin sekali itu bukan hal yang mudah baginya dan membutuhkan pengorbanan dan pergumulan yang hebat terlebih dahulu.

Ah, sudah waktunya bagi saya untuk ganti 'kacamata.'

Labels:

ARTI MEMBERI YANG KELUAR DARI HATI

Melihat orang memberi sedekah kepada pengemis mungkin pemandangan yang biasa bagi kita.
Tapi suatu ketika, ketika saya sedang berjalan menuju apotik Anggrek di Malang, saya melihat pemandangan yang tidak biasa dari orang yang memberi sedekah.
Sore itu saya melihat dua orang anak kecil baru keluar dari sebuah mini market. Sambil melangkah keluar, kedua anak itu sibuk menghitung beberapa keping uang receh, yang rupanya uang kembalian belanjaan mereka. Ketika mereka melihat seorang ibu tua, dengan pakaian kumal dan wajah sendu yang menatap kosong ke tanah, duduk bersandar di pinggir trotoar, mereka langsung menghentikan langkah mereka. Keduanya langsung sibuk mengumpulkan kepingan receh yang ada ditangan mereka masing-masing itu, lantas anak yang lebih besar menggenggam uang yang telah dikumpulkan itu dan mendekati ibu tua, yang jelas sekali adalah peminta-minta itu.
Menariknya adalah, ibu tua itu ternyata tidak menyediakan wadah untuk menampung sedekah sebagaimana biasanya dibawa para pengemis. Ia juga tidak mengangkat kepala dan tidak mengulurkan tangan dengan nada memelas yang mencoba menarik belas kasihan orang untuk memberi sedekah kepadanya.
Untuk sesaat, anak yang lebih besar itu bingung, mau ditaruh di mana uang yang sekarang ada di genggamannya, yang sudah diniatkan untuk diberikan kepada ibu tua itu. Anak itu mundur mendekati anak yang satu lagi. Mereka berdiskusi sambil berbisik-bisik. Dan tak lama kemudian, bersama-sama mereka mendekati sang ibu tua, mengucapkan sesuatu sampai ibu itu mengangkat kepalanya karena sedang diajak bicara. Lantas anak yang lebih besar itu menaruh dengan hati-hati kepingan uang receh itu di dekat tangan kanan sang ibu tua yang terjuntai lemas di dekat kakinya yang terlipat itu. Setelah menyempatkan diri mengucapkan pamit, mereka berdua beranjak melanjutkan langkah mereka, berpapasan dengan saya dan dengan tenang melewati saya, yang waktu itu berjalan berlawanan arah dengan mereka.
Dari awal saya melihat mereka berhenti dan berbisik-bisik ketika melihat ibu tua itu, saya sudah melambatkan langkah saya--yang biasanya berkecepatan tinggi. Rasa penasaran saya akan apa yang akan kedua anak itu lakukan tidak sia-sia. Saya boleh menyaksikan pemberian sedekah yang tidak biasa itu. Pengalaman ini berkesan cukup mendalam bagi saya.
Ibu tua itu, meski jelas seorang pengemis, tapi tidak sedang dalam 'tugas' meminta-minta. Namun kedua anak itu merasa ingin memberi; sehingga meskipun tidak ada uluran tangan yang memohon sedekah, bahkan harus menyapa dan menaruh uang sedekah mereka di dekat kaki ibu tua itu (yang 'bau'nya lumayan menyengat hidung; tercium kuat sekali ketika saya melintas di depannya).
Kedua anak itu punya hati yang memberi.
Hati yang jauh lebih ikhlas dari orang-orang yang sekedar melemparkan receh (yang mungkin bagi mereka tidak terlalu berharga, dan tidak merasa terlalu dirugikan bila itu 'dibuang' kepada para pengemis).
Saya malu sekali bila mengingat betapa jauhnya saya dari memiliki hati memberi seperti kedua anak itu. Okelah satu-dua kali saya bersedia merogoh saku, mencari-cari sekeping-dua keping uang receh, dan memberikannya kepada pengemis yang saya lewati. Tapi apakah itu berarti saya punya hati memberi? Jelas tidak. Jelas bukan motif yang seluhur kedua anak itu.
Sore itu, saya belajar arti memberi yang keluar dari hati.

Labels:

17 May 2007

MENJUMPUT MAKNA

Dalam keseharian kita, sebenarnya banyak sekali hal yang terjadi. Biasanya kita melewatkan begitu saja hal atau peristiwa yang rasanya tidak penting. Padahal dari itu, kita bisa 'mengais-ngais' sebentuk makna.
Misalnya, sebongkah batu besar yang teronggok di tengah jalan.
Batu besar itu bermakna bagi saya paling tidak dalam dua hal: kepedulian, dan bahaya dari hal yang sepele.
Kepedulian, adalah ketika tidak seorangpun bersedia berhenti sebentar dan mengangkat batu itu serta memindahkannya ke pinggir jalan, supaya tidak sampai mencelakai pemakai jalan yang lewat. Puluhan orang lalu lalang, tapi tidak seorangpun sudi menyisihkan waktu dan tenaga sejenak untuk 'mengamankan' batu besar itu. Dan ketika ada seorang bapak yang melintas, dan menyadari bahwa batu besar itu bisa sewaktu-waktu mencelakakan seorang pengendara sepeda motor, maka ia berjalan ke tengah jalan raya yang ramai itu, mengangkat batu itu dan meletakkannya di tempat yang tidak akan mengganggu siapapun yang lewat.
Bahaya dari hal yang sepele, adalah ketika kita membiarkan sebongkah 'gangguan kecil' tetap tergeletak ditengah hidup kita; menganggapnya bukan gangguan yang berarti. Sampai suatu ketika kita terantuk padanya, meringis kesakitan; barulah kita menyesali mengapa 'gangguan kecil' itu tidak dari dulu kita singkirkan.
Bisa beri contoh menjumput sepotong makna lain yang mungkin sekali terlewatkan oleh kebanyakan orang?

Labels:

15 May 2007

BAHAN UNTUK "CARA PANDANG"

Hidup dalam lingkup 'sempit' macam asrama Seminari berhasil memaksa saya untuk belajar manyadari sesuatu. Sesuatu itu adalah bahwa cara pandang saya ternyata sangat ditentukan oleh 'bahan baku' yang masuk melalui indra saya, terutama pendengaran dan penglihatan.
Dari pemahaman saya, paling tidak ada tiga macam 'bahan baku' yang membentuk cara saya memandang sesuatu atau seseorang:

a. "Konon kabarnya ..." adalah bahan baku yang berasal dari bisik-bisik tetangga, limpahan gosip dan kabar burung (entah burung jenis apa yang bisa menyebar gosip), sampai kabar dari rumput yang bergoyang. Saya akan memiliki cara pandang terhadap si Anu atau sesuatu hal berdasarkan bahan baku ini; yang berimplikasi bahwa segala bisik-bisik, gosip sampai kabar dari rumput yang bergoyang itu membentuk cara pandang saya.

b. "Oh, Begitu ya ..." adalah bahan baku selain bisik-bisik tetangga atau gosip, juga menambahkan sedikit atau beberapa gelintir fakta. Cara pandang saya dalam kategori sumber bahan baku "oh, begitu ya ..." ini tidaklah melulu pada bisik-bisik/gosip, tapi juga saya mengambil sejumput fakta.

c. "Fakta: lihat dan alami sendiri" adalah bahan baku yang murni berisi fakta. Itu berarti, bila saya membentuk cara pandang terhadap seseorang atau sesuatu dengan bahan baku "fakta" ini, maka saya harus bersedia mengabaikan beragam bisik-bisik dan gosip yang jelas sangat menarik dan 'nikmat.' Cara pandang saya akan butuh waktu lama untuk terbentuk dengan utuh. Saya harus benar-benar mengenal dan memahami seseorang atau sesuatu itu, baru bisa memiliki cara pandang terhadapnya.

Menariknya, apapun pilihan saya sebagai bahan baku untuk membentuk cara pandang saya, itu selalu memiliki dampak. Tidak satu pun pilihan bahan baku itu netral.
Misalnya: Saya dalam situasi sedang mengenal seseorang. Sebut saja namanya Anu.
Bila saya mengolah "konon kabarnya" untuk membentuk cara pandang saya terhadap Anu, itu berarti saya akan segera menyusuri kolom 'gosip terkini' atau 'isu terpanas minggu ini' dari berbagai tabloid gosip dan surat-surat 'kaleng' (informasi tanpa sumber yang jelas) yang beredar. Itu masih ditambah dengan gunjingan sana-sini yang beredar, biasanya di kalangan PKK (Pembicaraan Kurang Kerjaan). Jadilah si Anu di mata saya adalah pribadi yang seperti semua bahan "konon kabarnya" itu. Apakah si Anu itu ternyata tidak seperti itu, itu mah urusan ketiga belas!
Bila saya mengolah "Oh, begitu ya" sebagai bahan baku untuk menilai atau memandang si Anu, maka selain bahan-bahan "konon kabarnya," saya juga menambahkan sedikit fakta yang saya lihat pada diri si Anu. Yah, kadang-kadang saya harus berhadapan dengan pilihan kesimpulan tentang si Anu yang bertolak belakang antara gosip dan bisikan yang saya peroleh dengan apa yang saya lihat dan alami dengan si Anu. Ini bisa sedikit merepotkan; dan nyatanya, saya kok cenderung terpengaruh dengan bahan bakunya "konon kabarnya' ya? Ah, mungkin karena bahan baku "konon kabarnya" itu tampak lebih sedap dan gurih ....
Namun bila saya memiliki cara pandang yang terbuat dari bahan baku "fakta: lihat dan alami sendiri," maka cara saya menilai atau memandang si Anu ya semata-mata atas dasar fakta. Saya harus mengabaikan bumbu 'gosip' dan penyedap rasa yang bermerek 'isu terhot masa kini tentang si Anu.' Proses terbentuknya cara pandang saya tentang si Anu pun menjadi lebih lama. Gak se-instant kalo saya memakai bahan "konon kabarnya." Agar repot sih, tapi ternyata hasilnya jauh lebih kinclong dan tahan lama.

Lalu, apakah saya selalu menyukai bahan baku "fakta: lihat dan alami sendiri" ini? Kok ya kalo mo jujur nggak selalu begitu ... meskipun hasil jadinya jelas jauh lebih bermutu.
Entahlah, mungkin karena saya suka masak mie instant dan menyeduh kopi bubuk [jelas yang instant, buatan pabrik gede donk].
(Padahal: kecenderungan saya untuk mengolah bahan baku untuk membentuk cara pandang saya melulu dari "konon kabarnya" atau sedikit lebih lumayan dari "Oh begitu ya" ini adalah karena natur saya yang berdosa, yang belum lahir baru [nah lo, istilah apa tuh? Silakan tanya lebih lanjut kalo baru denger atau kurang ngerti]).

Labels:

NIAT ... OH, NIAT ...

Membicarakan mengenai menulis itu seperti mengipas-ngipas tubuh saat hawa gerah; sejuk, nyaman dan menyenangkan. Tapi sayangnya, kalau 'mengipas' adalah sebuah verba yang nyata, yang praktis, maka 'membicarakan' adalah verba yang pasif, yang nggak praktis alias 'ah, teori.' Padahal dalam meditasi, membuka dan memelototi sederetan ayat Kitab Suci, maka tindakan reflektif-komprehensif selanjutnya bagiku ya itu, nulis ... nulis. Aku cukup menikmati gerak motorik itu ... entah sekedar menuang 'hobi' corat-coret dengan 'sok nyastra,' entah upaya untuk lebih dalam mengerti [coz nyoret itu bisa menyeret pemikiranku dan membawanya pada OOOHH yang pas!' Atau untuk menghapal materi kuliah yang bakal diuji, he he he ....So, dengan sedikit penasaran, cukup gap-tek, aku nyoba deh ngisi blog ini. Moga keterusan!

Labels: