20 May 2007

KACAMATA SIAPA YANG DIPAKAI?

Dalam gereja, ditengah persekutuan ibadahlah, kita rupanya bisa menguji dengan 'kacamata' siapa kita melihat sesama kita.
'Kesadaran' itu saya peroleh ketika suatu hari Minggu, saya sengaja datang lebih awal di sebuah gereja di Malang. Maksud awalnya sih supaya saya bisa menenangkan diri sebelum masuk ibadah. Tapi tak dinyana, kotbah belum dimulai, tapi saya sudah dapat 'berkat.'

Waktu itu, bangku-bangku dalam gedung gereja yang lumayan luas itu masih banyak yang kosong. Maklumlah, ibadah baru akan dimulai dua puluh menit lagi. Beberapa saat setelah saya selesai berdoa persiapan, seorang ibu masuk ke dalam ruangan gereja. Ia tidak sendiri. Ada seorang remaja yang digandengnya dengan erat. Ketika mereka berdua masuk dan mulai melangkah menuju deretan bangku di tengah ruangan kebaktian itu, saya menyadari sebagian besar pasang mata tertuju pada mereka. Pandangan-pandangan itu sebenarnya lebih ditujukan pada remaja itu daripada sang ibu. Bagaimana tidak menarik perhatian, bila kita harus melihat seorang remaja dengan anting yang berukuran lumayan besar dan berkilau di bawah sorotan lampu, serta sederet cincin yang tidak kalah menyoloknya di sebagian besar jemari remaja itu. Dan remaja itu, ini yang paling mengganggu, adalah seorang lelaki!

Beberapa orang mulai berbisik-bisik, membicarakan mereka berdua. Sementara orang yang sedang dibicarakan itu sudah mengambil tempat tiga deret di depan bangku yang saya duduki. Wah, saya semakin sulit untuk mengabaikan pemandangan ini. Apalagi menarik juga mengamati mereka berdua. Saya yakin, sang ibu bukannya tidak menyadari bahwa beberapa pengunjung kebaktian yang ada sedang berbisik-bisik mengenai mereka. Tetapi rupanya ia memutuskan untuk mengabaikan hal itu. Ia malah dengan tenang mendekatkan kepalanya ke arah sang remaja, berbicara dengan remaja itu dengan penuh sayang; hal mana terlihat dari cara ia menatap remaja yang duduk di sisinya itu.

Dibawah sorotan sebagian pengunjung lain, yang rupanya mewakili opini publik mengenai gaya remaja itu di dalam ruang ibadah, sang ibu tidak goyah. Saya mengira, mungkin kehadiran remaja itu dalam ibadah Minggu jauh lebih penting dari meributkan dan memperdebatkan penampilannya. Dari cara mereka berjalan memasuki gedung ibadah ini, sampai sikap mereka dalam menunggu ibadah dimulai, sama sekali tidak ada tanda-tanda bahwa sebelumnya telah terjadi 'pergumulan hebat' mengenai aksesoris yang bertebaran menyolok di tubuh remaja lelaki itu. Meski saya yakin, ibu itu tentu jauh lebih suka bila sang remaja berpenampilan lebih 'pantas' dari itu.

Sang ibu melihat remaja itu dari kacamata Tuhan, bukan kacamata kebanyakan orang 'baik-baik' di dalam gereja itu. Sebab bila berbicara mengenai penampilan dan kondisi yang layak untuk datang ke hadirat-Nya, maka saya sendiri harus menemukan diri saya sebenarnya tidak layak. Lalu, kalau sadari diri tidak layak, kok ya masih mau datang beribadah ke hadirat Tuhan? Jawabnya: karena Tuhan melayakkan saya dan lebih rindu melihat saya datang beribadah kepada-Nya. Okelah, saya orang yang masih melakukan dosa. Saya orang yang masih belum 'bersih.' Kalau kelayakan yang menjadi standar untuk boleh masuk gedung gereja dan mengikuti ibadah di sana, maka saya akan termasuk orang yang baru masuk gerbang gereja aja sudah dicekal satpam gereja, dan diusir keluar; supaya tidak 'mengotori' rumah ibadah.

Tapi untungnya, saya tidak pernah dicekal, meski sebenarnya tidak layak.
Dan yang lebih indah lagi: Tuhan selalu terima saya, bila saya rindu untuk berjumpa dengan-Nya, apa pun kondisi saya.

Ibu itu memandang sang remaja dengan kacamata Tuhan memandang kita.
Ia tidak membiarkan dirinya terjebak dalam cara pandang dari kacamata orang-orang 'saleh' yang mencibir pendosa yang mereka lihat. Ia menerima dan mengasihi remaja itu sebagaimana adanya, meski mungkin sekali itu bukan hal yang mudah baginya dan membutuhkan pengorbanan dan pergumulan yang hebat terlebih dahulu.

Ah, sudah waktunya bagi saya untuk ganti 'kacamata.'

Labels:

0 Comments:

Post a Comment

<< Home