28 May 2007

KENIKMATAN KOPI DAN KASIH KARUNIA

“Tetapi hukum Taurat ditambahkan, supaya pelanggaran menjadi semakin banyak;
dan di mana dosa bertambah banyak, di sana kasih karunia menjadi berlimpah-limpah.”
(Roma 5:20)


Kita baru dapat menikmati hal yang baik bila kita harus mengalami hal yang buruk. Kita dapat lebih menghargai sesuatu yang mulia setelah kita harus berhadapan dan disusahkan dengan sesuatu yang cemar atau menjijikkan.
Di banyak hal dalam hidup kita, hal yang tidak baik bisa berguna untuk membuat kita memahami dan menghargai hal yang baik.

Masalahnya, kita baru bisa menikmati hal yang baik itu dan dianggap menghargainya bila kita menaati dan mengikuti seperangkat aturan main, yang tentu saja ruwet dan sangat merepotkan.

Dulu, ketika saya belum bisa menikmati cara menyeduh kopi dan menikmatinya, saya hanya minum minuman berwarna hitam pekat itu begitu saja. Hanya tahu, kalo mau lebih manis, ya tambah gula. Mau lebih kental rasa kopinya, ya bubuk kopinya ditambah sebelum diseduh air panas.

Setelah memiliki teman (-teman) yang tahu seni menyeduh kopi dan menikmatinya, saya mulai melihat seni dalam meminum kopi.
Kalau dulu dalam gelas saya langsung campur kopi dan gula, baru diseduh air panas, maka sekarang saya menyeduh kopi dengan cara yang berbeda. Bubuk kopi dimasukkan, diseduh air panas, diaduk sebentar, baru dimasukkan gula secukupnya. Gula tidak lagi dicampur dahulu, supaya kopi larut lebih dahulu untuk mengeluarkan tastenya.

Dulu, pakai air termos yang sudah berjam-jam sehingga panas airnya sudah tidak semendidih ketika baru dituang dari teko masak, itu bukan masalah. Sekarang, pakai air panas dari dispenser saja terkadang rasanya kurang afdol, karena kualitas kopi tidak keluar secara maksimal (karena butuh air yang mendidih, lebih baik dimasak matang langsung); tapi mau gimana lagi, lha selama di asrama gak gampang dapat air mendidih yang baru diangkat dari kompor.

Dulu, setelah secangkir kopi panas yang masih mengepul langsung di’glek’ (pelan-pelan sih, soalnya masih panas sekali, khan bisa melepuh tuh mulut) seperti menenggak air minum biasa. Sekarang, minumnya lebih ‘nyeni’, diseruput pelan-pelan. Kalau perlu disertai decakan lidah dan desahan nikmat, “Aaaahhh” supaya lebih menegaskan kalau sedang menikmati citarasa dari kopi tersebut.

Dulu, nggak peduli itu kopi jenis apa. Sekarang, harus tahu ini kopi jenis apa: robusta atau arabika. Harus bisa teliti membedakan citarasa: kopi Medan jelas beda dengan kopi Papua (sama-sama jenis kopi ‘keras’ tapi kopi Medan lebih ‘menantang’ dibanding kopi Papua yang soal masamnya saudara kembar kopi Toraja—menurut saya lho), meski mungkin sama-sama dari klan robusta.; kopi Lampung jelas lebih maknyus daripada kopi Toraja yang rasa masamnya terasa sekali (sekali lagi: menurut saya lho). Meski belum jadi pakar kopi, tapi minimal bisa nyambung deh kalo ngobrol ngalor-ngidul soal ngopi.

Jadi, kalau dulu minum kopi adalah persoalan sepele, tinggal glek; maka sekarang dengan segala aturan yang rada rumit itu menikmati secangkir kopi adalah sebuah seni. Awalnya saya sebal dengan ‘gaya nyeni’ dalam menikmati kopi. Tapi, karena memaksa diri untuk menyesuaikan dan menyadari bahwa segala aturan ruwet itu perlu untuk bisa menghargai dan menikmati minuman kopi, lama-kelamaan saya terbiasa untuk ‘mematuhi’ ritual ruwet itu. Eh, kok ya sekarang sudah gak terasa ruwet lagi, sudah ‘menyatu’ dengan gaya hidup.

Dari pengalaman tentang ngopi di atas, saya memahami maksud rasul Paulus dalam ayat yang dikutip di atas. Sama seperti ngopi itu baru nikmat kalau kita tahu bahwa dibalik keruwetan aturan membuat minuman kopi, ada hal nikmat yang muncul. Aturan yang ruwet itu tidak boleh dibiarkan menjadi tujuan, tapi sarana yang mengarahkan kita untuk sampai pada satu hal dan menyadarinya: citarasa kopi yang sejati. Citarasa itu sudah ada sebenarnya, tapi baru terasa bila diolah dengan cara yang benar, bukan asal-asalan; butuh seperangkat cara, banyak kemungkinan gagal menikmatinya, tapi justru disitu letak daya menikmati dan kenikmatan citarasa muncul.

Tapi saya akan simpulkan untuk mengakhiri artikel ini (karena harus ada bagian yang bicara selaras dengan kutipan di atas): bahwa semakin banyak hukum (Taurat) yang harus dipatuhi untuk menjaga kekudusan dan tidak berbuat dosa, maka kita akan semakin menyadari betapa tidak berdayanya kita untuk tidak berdosa. Kesadaran akan ketidak berdayaan diri kita untuk tidak berdosa dan ketidak mungkinan membuat diri kita layak diampuni, menyebabkan kita jauh lebih mengerti dan mensyukuri kasih karunia Allah: pengampunan dalam iman kepada Tuhan Yesus yang telah menjadi Penebus kita dari tuntutan hukuman dosa!
Kasih karunia itu baru ‘nikmat’ kalau kita tahu bahwa itu semata anugrah, bukan hasil kerja keras kita menaati hukum Allah.

Ijinkan saya menutup ini dengan ‘membaca’ nats di atas dalam bahasa yang disesuaikan sedikit, “Tetapi aturan mengenal dan menyeduh kopi ditambahkan, supaya kegagalan untuk menikmati kopi yang sejati semakin banyak; dan di mana cara gagal untuk menikmati kopi bertambah banyak, di sana kenikmatan secangkir kopi menjadi semakin berharga untuk dinikmati.”

Labels:

1 Comments:

Blogger Nindyo Sasongko said...

Bila seorang teolog kelak kembali ke surga, siapakah yang harus dicari dan dijumpai pertama kali?

Tak lain dan tak bukan . . .

Penemu racikan kopi!!!!

Dan doa seorang teolog untuk saat ini adalah: moga-moga di surga kelak--sambil menantikan datangnya surga dan bumi yang baru--tersedia secangkir kopi tiap "hari"-nya.

Hmm, saya sih yakin, kalo ntar di surga dan bumi yang baru, pasti banyak pohon kopi yang selalu berbuah dan siap diolah!

Hehehee . . .

June 13, 2007 at 9:49 AM  

Post a Comment

<< Home