23 May 2007

KRISTEN BISA BUNUH DIRI?

Kemarin, salah seorang teman saya di asrama mengajukan sebuah topik, yang ia ingin saya tanggapi.
Rencananya topik itu akan dijadikan tema skripsinya kelak. Wah, saya senang ada rekan yang jauh-jauh hari sudah mau memikirkan itu. Karena itu berarti ia merencanakan dan mempersiapkan dengan baik, tidak seperti beberapa rekan yang saking menjiwai mental 'last minute,' sampai cari topik skripsi aja mepet banget, pas udah dituntut presentasi proposal skripsi baru memikirkannya.

Kembali ke teman saya yang minta tanggapan itu, ia dengan antusias memaparkan kalo ia ingin membahas bagaimana orang (Kristen) yang bunuh diri itu 'masih bisa' masuk surga. Dengan argumen: Bukankah sekali diselamatkan, tetap selamat? Bukankah keselamatan yang dianugrahkan Allah itu tidak dapat hilang?
Saya menanggapinya--sesuai permintaannya--dengan menegaskan bahwa orang yang telah menerima anugrah keselamatan kekal dari Allah tidak mungkin bunuh diri. Tentu saja saya 'menguras' seluruh argumen yang saya tahu untuk mendukung tanggapan saya itu.

Di balik 'ngotot'nya saya menanggapi topik yang diajukan teman saya itu, diam-diam saya 'dipaksa' memikirkan: apa betul orang Kristen yang bunuh diri masih mungkin masuk surga?
Saya diam sejenak, membiarkan indra wicara saya bungkam sesaat--entah karena terlalu capek beragumen, atau memang menyadari butuh waktu sesaat untuk tenang dan berkesempatan memikirkan ulang baik-baik argumen dan pemikiran saya, serta coba langkah positif untuk mundur, untuk coba melihat dari sisi lain segi yang benar dari topik teman saya itu.

Waktu itu yang pertama terlintas--setelah momen diam yang singkat itu--dalam benak saya adalah pertanyaan: apa bisa orang Kristen yang sungguh-sungguh beriman bisa melakukan tindak bunuh diri?
Kalau memang pernah terlintas dalam benak mau bunuh diri saja, karena disebabkan tekanan hidup yang begitu berat dan sudah hampir gelap mata karena tidak melihat celah sedikit pun untuk keluar dari tekanan yang semakin menghimpit, saya rasa sih bisa saja. Tapi toh itu cuma berhenti saja pada lintasan pikiran, dan secara iman akan buru-buru ditepis karena kesadaran bahwa itu dosa.

Saya mencerna ulang argumen saya sendiri, yang keluar begitu saja--di mana saya memaksa diri saya mengakui bahwa argumen itu adalah 'anugrah'; sesuatu yang saya ketahui karena dikaruniakan dalam benak saya.
Salah satu argumen saya, yang paling mengganggu pemikiran dan membuat saya sedikit bergumul untuk sepenuhnya meyakininya ialah: bahwa seorang yang sungguh beriman kepada Tuhan dan hidupnya telah diubahkan, ia semakin hari akan semakin menjauhi dosa karena ia terus bertumbuh, terus naik semakin mendekati kesempurnaan penuh yang dirindukan Tuhan yang mengasihinya dan memeliharanya. Itu berarti kalau dulu, sebelum mengenal Tuhan, ia punya kemungkinan besar berpikir untuk bunuh diri ketika menghadapi tekanan hidup yang berat. Maka seiring waktu dan pertumbuhan iman yang terjadi, kemungkinan berpikir ke arah itu sudah semakin kabur. Lambat laun bahkan istilah 'bunuh diri' sangat mungkin sudah tidak terdapat lagi dalam kamus kehidupannya.

Apa yang saya kemukakan itu sebenarnya pengalaman pribadi saya sendiri.
Dulu, waktu mengawali hidup dalam iman kepada Kristus Tuhan, setiap kali hidup terasa sesak, saya satu-dua kali berpikir untuk mati saja. Kan dengan begitu semua persoalan langsung lenyap, blas, plong. Seiring perjalanan waktu dan melewati selangkah demi selangkah mengalami hidup dan pembentukan iman, pikiran semacam itu nyaris tak terdengar lagi dalam benak saya. Bagi saya, hidup ini berharga untuk dijalani. Kalau toh harus mati, itu urusan Dia; itu hak Tuhan. Bukankah hidup saya ini milik-Nya? Saya kan tidak pernah mencipta diri saya sendiri dan membentuk roh saya sendiri? Minimal sekarang saya cukup tahu diri, bahwa sebagai ciptaan, diri saya adalah kepunyaan Yang Mencipta saya. Bahwa merupakan hal yang sangat bodoh dan tidak tahu diri kalau sebagai ciptaan saya berkelakuan seolah-olah 'pencipta' yang lantas 'menguasai' dan 'memiliki sepenuhnya' diri saya sendiri.

Lalu, gimana kalau ternyata ada orang yang (katanya) sudah sungguh-sungguh beriman pada Tuhan, eh lantas bunuh diri?
Secara Kristen, saya diajar bahwa hal pertama yang perlu ditanya: apa benar ia seorang yang sudah sungguh-sungguh beriman pada Tuhan? Bukankah seringkali kita terjebak untuk keliru memiliki parameter ukuran kesungguhan iman seseorang, yang biasanya standarnya adalah aktivitas keagamaannya semata?
Pepatah manusia mengatakan: dalamnya laut bisa diukur, dalamnya hati siapa yang tahu.
Kitab Suci juga menegaskan betapa hati manusia itu begitu kompleks, sehingga apa yang terkandung di dalamnya seringkali tidak akan pernah diketahui orang lain. Itu sebabnya Allah sudah berujar: manusia melihat (terbatas hanya) apa yang di depan mata, tetapi Tuhan melihat (lebih dalam lagi dari yang mampu dilihat mata biasa, yaitu) hati.

Jadi: apakah seorang yang sudah percaya Tuhan bisa melakukan tindakan bunuh diri?
Saudara boleh simpulkan sendiri jawabannya dari 'celotehan' saya di atas.

Labels:

0 Comments:

Post a Comment

<< Home