28 May 2007

TUHAN = ….

“TUHAN adalah gembalaku” (Mazmur 23:1a)


Penilaian kita pada sesuatu atau seseorang ditentukan sekali dengan pengalaman kita dengan sesuatu atau seseorang itu.
Kalau kita punya figur papa yang galak dan menakutkan, lantas ketika di sekolah ada teman kita yang bilang begini tentang pak guru yang lemah lembut, “Eh, Pak guru itu seperti papa kita ya?” maka kita akan bereaksi, “Ah, nggak! Beda! Pak guru itu tidak seperti papa saya!” Pengalaman saya dengan seorang papa yang galak dan menakutkan, membuat saya tidak sudi menyamakan pak guru saya yang lemah lembut itu dengan papa saya. Kualitas mereka berdua berbeda.
Sekali lagi, penilaian kita pada sesuatu/seseorang ditentukan sekali dengan pengalamana kita dengannya.

Ketika Daud menyebut TUHAN sebagai “gembalaku”, maka kita bisa menyimpulkan bahwa dulu sewaktu ia masih menjadi seorang gembala, ia adalah gembala yang bertanggung jawab. Ia adalah gembala yang benar-benar menggembalakan dengan baik dan bertanggung jawab semua kambing-domba yang dipercayakan untuk dijaga dan dipeliharanya.
Sebab kalau Daud dulu adalah gembala yang tidak bertanggung jawab, yang lebih suka lari meninggalkan kawanan dombanya ketika seekor binatang buas mendekat, maka jelas ia tidak akan sudi memandang TUHAN dalam gambaran gembala. Kan gawat kalo punya TUHAN yang lari begitu saja meninggalkan kita ketika kita terancam bahaya!
Uraian Daud dalam Mazmur 23 mengenai gambaran TUHAN sebagai gembala, saya yakin merupakan proyeksinya terhadap pengalamannya sendiri sewaktu masih seorang gembala. Ia rupanya suka melihat kepada domba kesayangannya, dan diam-diam iri dengan domba itu karena bisa menikmati pemeliharaan yang begitu baik darinya. Sekarang, Daud sedang merefleksikan dirinya dengan menempatkan dirinya di tempat sang domba kesayangan itu; dan menempatkan TUHANnya dalam gambaran gembala yang baik, yang bertanggung jawab.

Ketika merenungkan itu, saya diam-diam membisikkan doa, “TUHAN, kalau saya beroleh kesempatan menjadi seorang suami, tolong saya menjadi seorang suami yang selalu setia dan mencintai istri saya, supaya ketika istri saya mengingat saya yang selalu setia dan mencintainya ini, ia bisa melihat gambaran Engkau yang jauh lebih setia dan mencintainya. Kalau saya beroleh kesempatan menjadi seorang ayah, saya berharap menjadi seorang ayah yang menyayangi anak dan mendidiknya dengan baik, sehingga ketika anak saya mengingat saya yang menyayangi dan mendidiknya dengan baik, ia bisa melihat gambaran Engkau yang jauh lebih sayang dan lebih sempurna dalam mendidik dirinya.”

Labels:

0 Comments:

Post a Comment

<< Home