01 July 2007

Diri Buruk, Ga Bisa Bercermin

Saya bukan tipe orang yang suka berlama-lama di depan cermin; sebuah keharusan buat saya hanya kalo mo nyisir rambut. Malah kadang-kadang saya menyisir rambut begitu aja, pake feeling, ga pake cermin (tapi jelas pake sisir).
Untunglah, dalam hal lain saya masih suka bercermin.
Sejak saya tahu tentang 'hukum proyeksi tentang diri', saya usahakan untuk lebih rajin bercermin diri. 'Hukum proyeksi tentang diri' itu maksudnya: pandangan ataw penilaian (judgmenting) saya terhadap orang lain cenderung dipengaruhi siapa diri saya sebenarnya.
Misalnya neh: kalo saya bawaannya curiga dan gak percaya saya orang, mungkin sekali sebenarnya saya orang yang ga bisa dipercaya orang. Kalo saya suka menilai orang nggak mampu, mungkin sekali sebenarnya diri sayalah yang nggak mampu.
Pengalaman terakhir yang kembali mengingatkan saya tentang hal cermin diri dan hukum proyeksi ttg diri ini adalah berkenaan dengan teman saya, sebut saja namanya Esti.
Saya suka terganggu kalo mo tanya sesuatu dan harus mendengarkan penjelasan dari Esti. Soalnya, ia punya kecepatan bicara nyaris mendekati 125 km per menit, eh per jam.
Saya selalu alami kesulitan menangkap apa yang ia mo ungkapkan.
Tapi tahukah Anda (mulai seuriues neh ....) bahwa saya sebenarnya juga punya cara bicara yang cepat seperti teman saya Esti (itu dulu sih, sekarang udah belajar lebih pelan ... paling nggak sekarang bisa bicara dengan kecepatan 60 km per jam).
Saya melihat cara bicara 'wus wus wus' ala Esti yang mengganggu itu, sebagai cerminan saya sendiri (kalo masih suka 'ngebut' kayak gitu).
Emang, menghakimi orang lain jauh lebih mudah. Seperti dikatakan Yesus [dengan dimodifikasi sedikit tanpa menghilangkan maknanya]: selembar bulu mata di seberang sungai kelihatan, tapi batang pohon yang nangkring di mata sendiri tak terlihat.
Ya seperti saya itu ... yang melihat kelemahan cara bicara Esti, padahal saya sendiri sebenarnya punya kelemahan serupa. Inilah kenyataan betapa diri buruk, ga bisa bercermin. Coba kalo diri bagus, khan lebih sering nongkrong di depan cermin (soalnya bisa narcis sih: mengagumi diri sendiri, coba kalo jelek, khan ga bisa begitu).
So, pengalaman dengan Esti membuat saya lebih mawas diri; tiap kali di benak ini mulai muncul penghakiman terhadap orang lain, sedapat mungkin coba lihat pada diri: apakah saya juga sebenarnya bersikap atau berlaku seperti orang yang sedang saya hakimi itu?
Emang sih gak selalu bisa mawas diri kayak gitu, tapi paling nggak khan dah punya kesadaran.
(ngomong-ngomong, sekarang saya mulai belajar menilai orang lain itu cakep, pinter en berbakat; khan siapa tahu kalo saya sebenarnya ya seperti itu, he he he ....).

Labels:

0 Comments:

Post a Comment

<< Home