01 July 2007

Menunggu & Doa Makan

Kemarin sore saya pergi ke sebuah warung tenda yang menjual ayam penyet untuk makan (jelas donk, masa untuk tidur?). Sebenarnya saya segan mampir ke warung tenda 'itu', meski ayam penyetnya lumayan rasanya di lidah saya, coz menyajikan makanannya luamaaa buangeet. Kalo saya mampir untuk makan di sana, saya harus menunggu sekitar setengah jam sejak memesan sampai bisa memperoleh makanan pesanan saya itu. Itu sebabnya mungkin warung tenda itu selalu menyediakan koran untuk dibaca (kedengarannya seperti di ruang tunggu dokter atau apotik ya?). Dan koran yang ada cenderung jadi rebutan, apalagi kalo yang menunggu sudah cukup banyak dan kebetulan sama-sama hobi menghabiskan saat menunggu dengan baca koran.
Selain masalah lama menunggu, saya juga harus 'bergumul' dengan masalah lain yang berkaitan banget dengan masalah menunggu itu: doa makan.
Lho, apa hubungannya menunggu dengan doa makan?
Begini ceritanya: saya sebenarnya bukan tipe yang sabar kalo disuruh menunggu. So, kalo toh saya putuskan untuk mampir ke warung tenda yang lama memenuhi pesanannya itu, saya jelas tahu konsekuensinya--bisa bete nunggu.
Nah, kalo sudah tergoda untuk bete, lantas uring-uringan (apalagi kalo pas mampir mendadak perut berdemonstrasi menuntut 'hak'nya sesegera mungkin diisi), gimana bisa berdoa mengucap syukur. Masak mo mengulang doa yang itu-itu juga (yang dinaikkan baik dengan wajah maupun hati yang cemberut), "Tuhan, makasih untuk ayam penyet yang udah diantar dan siap dimakan, meskipun harus nunggu lamaaaaaa bangeeet ...."
Kembali ke 'jelas tahu konsekuensinya' itu.
Karena saya tahu konsekuensinya kalo bakal lamaaaa bangeeet nunggu untuk bisa makan, maka setiap kali saya sengaja mampir, saya selalu niatkan untuk gunakan itu sebagai kesempatan belajar. Belajar untuk sabar. Apalagi toh udah tahu dan disengaja, bukannya karena faktor diluar kemampuan saya untuk menghindari menunggu itu.
Selain itu, saya bisa belajar tetap cool dan bisa tunduk berdoa untuk makanan itu dengan hati yang juga berdoa (bersyukur, gicuu ...), bukannya hati yang cemberut seperti tampang saya.
Kemarin sore, saya bisa menikmati hasilnya 'bertahan' untuk tetap cool meski harus menunggu. Suasana makan jadi tetap asyik, orang di sebelah saya juga mungkin ikut cool (karena saya ajak ngobrol, seolah tanpa beban menunggu dan menahan lapar). Dan kesaksian iman saya juga tetap terjaga, karena saya berdoa dengan cool (kalimat ini kok kedengarannya mirip iklan produk kecantikan?), bukan dengan bete--baik tampang maupun hati.
Ah, gurihnya ayam penyet itu masih terasa di lidah waktu saya ngetik ini, plus kenangan akan acara antri koran dan obrolan setengah jam dengan pengunjung warung makan yang lain masih terkesan di benak saya.

Labels:

0 Comments:

Post a Comment

<< Home